Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Kesepakatan IEU CEPA bukan Jaminan Ekspor CPO ke Eropa Jadi Moncer

Insi Nantika Jelita
16/7/2025 02:57
Kesepakatan IEU CEPA bukan Jaminan Ekspor CPO ke Eropa Jadi Moncer
Pekerja menurunkan tandan buah segar dari bak mobil di salah satu rumah jual beli hasil perkebunan sawit di Kota Bengkulu, Bengkulu.(ANTARA/Muhammad Izfaldi)

MESKI Indonesia dan Uni Eropa telah mencapai kesepakatan perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA), hal ini belum pasti mendorong peningkatan ekspor minyak sawit mentah (CPO) ke kawasan tersebut. 

Menurut Ketua Umum (Ketum) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, kesepakatan IEU CEPA lebih banyak menyasar penghapusan hambatan tarif. Sementara, tantangan utama ekspor sawit Indonesia ke Eropa justru berasal dari hambatan non-tarif, seperti kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang akan berlaku pada akhir 2025.

"Karena ada hambatan non-tarif, jadi belum tentu dengan selesainya IEU CEPA otomatis ekspor CPO akan meningkat kalau EUDR sudah diberlakukan," katanya.

Eddy menegaskan, EUDR merupakan regulasi terpisah dari IEU-CEPA dan tidak secara otomatis dihapuskan dengan kesepakatan perdagangan tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian isu EUDR juga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan pelaku industri.

"Kalau kita tidak bisa comply atau menaati ketentuan EUDR, penyelesaian EUDR juga harus menjadi perhatian bersama," ucapnya. 

Di satu sisi, Eddy menyampaikan Indonesia sejatinya telah menunjukkan komitmen terhadap prinsip keberlanjutan. Pemerintah telah menerapkan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) secara wajib, dan banyak pelaku usaha juga telah mengikuti standar internasional seperti RSPO dan ISCC.

"Dengan adanya ISPO dan sertifikasi global lain yang diikuti pelaku industri, seharusnya aspek keberlanjutan sudah dapat dijawab," jelasnya.

Sementara itu, Eddy menerangkan masalah ekspor CPO tidak hanya bergantung pada aspek regulasi. Menurutnya, kondisi global memainkan peran penting dalam memengaruhi pasar global CPO. 

Ketegangan di kawasan Timur Tengah, konflik antara India dan Pakistan, hingga perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok menciptakan ketidakpastian ekonomi yang berdampak pada permintaan minyak sawit secara global.

Gapki mencatat ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2018, volume ekspor mencapai 5,7 juta ton, turun menjadi 4,1 juta ton pada 2023.

"Dan kembali menurun menjadi 3,3 juta ton pada 2024," kata Eddy.

Dia menambahkan penurunan ekspor CPO juga disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya penurunan permintaan biodiesel sebagai dampak dari penerapan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) oleh Uni Eropa, serta harga CPO yang relatif lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain, sehingga menurunkan daya saingnya di pasar internasional. 

Perlu diingat, minyak sawit bukan satu-satunya sumber minyak nabati di dunia. Ketersediaan alternatif seperti minyak kedelai, kanola, dan bunga matahari juga memengaruhi daya saing ekspor sawit nasional. 

"Masalah lainnya juga dipengaruhi suplai minyak nabati lain karena minyak sawit bukan satu-satunya minyak nabati dunia," pungkasnya. (Ins/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Mirza
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik