Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
Pemerintah didesak untuk memberlakukan moratorium kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan. Usulan ini dinilai sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas industri hasil tembakau (IHT) sekaligus melindungi jutaan pelaku usaha kecil, petani, dan buruh yang menggantungkan hidup pada sektor ini.
Momentum ini dinilai tepat seiring dengan penunjukan Letjen Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang baru. Ia diharapkan mampu menyeimbangkan mandat fiskal dengan prinsip keadilan sosial, termasuk mempertimbangkan kontribusi ekonomi sektor IHT terhadap penerimaan negara.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji, menyatakan dukungan penuh terhadap usulan moratorium tersebut. Ia menilai kebijakan ini sangat dibutuhkan untuk memberi ruang napas bagi seluruh ekosistem pertembakauan, mulai dari petani hingga pelaku industri kecil.
“Sangat bagus usulan moratorium itu untuk Dirjen Bea Cukai baru,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Senin (16/6).
Agus menyoroti bahwa dalam lima tahun terakhir, kenaikan tarif CHT tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat yang justru menurun. Akibatnya, permintaan tembakau dari industri menurun drastis.
Lebih jauh, ia menyoroti bahwa kenaikan tarif CHT yang agresif juga telah menyuburkan pasar rokok ilegal. Ia berharap Dirjen Bea Cukai yang baru dapat mengambil langkah tegas untuk menertibkan peredaran rokok ilegal yang semakin masif.
“Apalagi sekarang ini pemerintah belum mampu menjaga rokok ilegal. Kalau kita mau jujur, di pasaran peredaran rokok legal dan ilegal hampir 50:50,” ucapnya.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta, turut menyoroti dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan kenaikan cukai rokok dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak hanya menekan industri, tetapi juga menciptakan ruang bagi maraknya rokok ilegal yang justru merugikan negara.
"Kontraksi, di mana sebetulnya itu juga munculnya rokok-rokok ilegal, itu sangat terasa. Yang ujungnya justru kontraproduktif dengan target pemerintah untuk pendapatan cukai,” katanya.
Widyanta menilai pentingnya pemerintah menyusun peta jalan kebijakan CHT yang lebih terukur dan adil. “Bagus kalau misalnya itu ditentukan target tiga tahun ke depan,” jawabnya.
Ia juga menekankan perlunya pendekatan multisektoral dalam perumusan kebijakan CHT, termasuk melibatkan petani dan buruh tembakau dalam proses pengambilan keputusan. “Libatkan mereka untuk mengkalkulasi, menakar dimensi-dimensi berbagai sektor secara berimbang, sehingga tetap ada proteksi terhadap para petani tembakau dan buruh-buruh di pabrik industri tembakau,” jelas Widyanta.
Lebih dari sekadar angka fiskal, Widyanta menegaskan bahwa kebijakan cukai harus mempertimbangkan aspek kesejahteraan sosial. Ia mendorong Dirjen Bea Cukai yang baru untuk melihat persoalan CHT secara menyeluruh dan holistik.
“Ada banyak warga negara kita yang hidup dari IHT, maka mestilah kita memproteksi apa yang menjadi penghidupan warga negara itu. Kalau Pak Djaka bisa sampai kepada perhitungannya menyeluruh holistik seperti itu, saya kira kita akan menjadi bangsa yang berdaulat dengan menata-kelola potensi-potensi sumber yang kita punya,” pungkasnya. (E-3)
Industri pengolahan tembakau anjlok hingga -3,77% yoy—berbanding terbalik dengan pertumbuhan 7,63% pada periode yang sama tahun lalu. Cukai rokok
Bea Cukai Cilacap, bekerja sama dengan Satpol PP dan aparat penegak hukum lainnya, menggelar operasi besar-besaran terhadap peredaran rokok ilegal di kawasan Kawunganten, Cilacap
Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan fiskal seperti penaikan cukai rokok yang telah menyebabkan penurunan serapan tembakau lokal hingga 30%.
Di tengah upaya jajaran Kemenkes untuk terus mendorong pembahasan Rancangan Permenkes, Merrijantij mengungkapkan, hingga saat ini, Kemenperin belum dilibatkan secara resmi oleh Kemenkes.
Kementerian Pertanian yang bersinggungan langsung dengan para petani tembakau mengaku terganggu dengan langkah Kementerian Kesehatan dalam merancang Permenkes.
Barang bukti yang diamankan dari 11 kasus tersebut ialah berupa 5,26 kg sabu, 50,99 kg ganja; 0,045 kg ganja sintetis (tembakau gorilla), 3,9 kg cathione, 63 butir ekstasi, dan 2.680 butir PCC.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved