Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
JARINGAN Advokasi Tambang (Jatam) menyebut langkah pencabutan izin empat perusahaan tambang nikel Raja Ampat dibayangi konflik kepentingan dan perlindungan terhadap kepentingan korporasi besar. Pasalnya salah satu perusahaan dibiarkan tetap beroperasi yakni PT Gag Nikel. Perusahaan tambang nikel itu secara terang-terangan beroperasi di Pulau Gag, sebuah pulau kecil dalam wilayah konservasi Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Padahal, menurut UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas tambang dilarang di pulau kecil karena mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat pesisir.
"Namun larangan hukum itu diinjak-injak oleh rezim hari ini. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berdalih bahwa izin PT Gag Nikel tak dicabut karena perusahaan itu adalah pemegang kontrak karya dan mayoritas sahamnya dimiliki BUMN (PT Antam). Ia bahkan menyebut tambang di Pulau Gag berjalan baik dan sesuai AMDAL," kata Koordinator Jatam Melky Nahar dalam keterangan yang diterima, Selasa (10/6).
Jatam menilai alasan itu menyesatkan. Melky menjelaskan, kontrak karya bukan tameng hukum untuk menghancurkan pulau kecil dan ruang hidup masyarakat adat. "Bahkan jika itu BUMN, tetap tak bisa membenarkan perampasan wilayah adat dan perusakan ekosistem Raja Ampat yang menjadi warisan dunia," ujarnya.
Langkah pemerintah yang membiarkan PT Gag Nikel beroperasi justru menunjukkan konflik kepentingan yang mencolok dalam tubuh perusahaan itu.
Jatam menyebut dalam struktur komisaris perusahaan terdapat nama-nama yang diduga dekat dengan kekuasaan, termasuk Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi, Staf Ahli Menteri ESDM Lana Saria.
"Dengan tokoh-tokoh itu duduk sebagai pengawas perusahaan, publik berhak mencurigai bahwa PT Gag Nikel kebal hukum bukan karena legalitasnya kuat, tapi karena dilindungi jejaring kekuasaan politik dan ormas besar," ungkapnya.
Jatam menilai tindakan Menteri Bahlil dan pembiaran oleh Presiden Prabowo Subianto terhadap operasi tambang di Pulau Gag adalah pelanggaran terhadap UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Termasuk Putusan MK RI Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menolak gugatan PT Gema Kreasi Perdana (anak perusahaan HARITA) untuk menghapus ketentuan pasal 35 huruf K yang melarang kegiatan penambangan di Pulau Kecil dan telah dimenangkan warga Pulau kecil Wawonii.
Lebih jauh, hal itu juga melanggar ketentuan UU Minerba No 3 Tahun 2020, terutama Pasal 134 ayat (2) yang menyatakan, "Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," katanya.
"Jika Prabowo dan Bahlil terus memfasilitasi perusakan pulau kecil, melindungi korporasi perusak lingkungan, dan menjadikan tambang sebagai alat eksploitasi politik, maka mereka sedang mempersiapkan kehancuran Indonesia dari pinggir, dimulai dari Raja Ampat," pungkasnya. (H-3)
Ketika awak media menanyakan apakah hal yang digali adalah terkait dugaan kerusakan lingkungan, Sandi belum bisa menjawab.
Dampak ekologis dari pertambangan di pulau-pulau kecil, seperti yang terjadi di Raja Ampat, dinilainya sangat destruktif dan bisa bersifat permanen.
“Jika pengawasannya lemah, perusahaan bisa saja diam-diam melanjutkan operasi sambil menunggu hasil gugatan."
KETUA Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan pihaknya akan mengecek langsung aktivitas tambang nikel Raja Ampat yang dilakukan PT Gag Nikel di Pulau Gag, Papua Barat Daya.
Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menyampaikan bahwa usulan rumah subsidi seluas 18 meter persegi bersifat sebagai opsi tambahan, bukan menggantikan regulasi sebelumnya.
KOMNAS HAM menilai penambangan nikel di enam pulau di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, seharusnya tidak dilakukan. Mengingat, keenam pulau tersebut berada di pulau kecil.
Sedimen dari aktivitas tambang bisa menutup terumbu karang dan padang lamun, yang merupakan habitat penting bagi ikan kerapu untuk memijah dan berlindung.
Anggrek biru (Dendrobium azureum Schuit), spesies langka dan endemik yang hanya ditemukan di Cagar Alam Pulau Waigeo, Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dinas Pariwisata Pemkab Raja Ampat meminta pengelola homestay di Raja Ampat untuk menerapkan pariwisata berkelanjutan yang mudah dilakukan dalam kegiatan sehari-hari.
Sebagai spesies endemik dengan status terancam punah, anggrek biru membutuhkan perlindungan serius agar kelangsungan hidupnya tetap terjaga.
Bila keseimbangan ekosistem terganggu, rantai makanan yang menopang kehidupan spesies-spesies ini akan runtuh.
Jika pembangunan hanya diartikan sebagai akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, kasus Raja Ampat menjadi cerminan kegagalan dalam memahami esensi keberlanjutan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved