Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Tambang di Raja Ampat, Pakar UGM: Penegakan Hukum Lingkungan Jangan Berhenti di Atas Kertas

Ardi Teristi Hardi
18/6/2025 21:32
Tambang di Raja Ampat, Pakar UGM: Penegakan Hukum Lingkungan Jangan Berhenti di Atas Kertas
Ilustrasi(Dok KKP)

DOSEN Fakultas Kehutanan UGM, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., prihatin atas kegiatan pertambangan di kawasan Raja Ampat. Menurut dia, kegiatan pertambangan di kawasan hutan harus melalui prosedur yang ketat dan berlapis, terutama jika lokasi tambang berada di kawasan hutan produksi atau bahkan hutan lindung.

Namun, proses ini seringkali dipersingkat atau dilewati secara tidak semestinya, terutama saat kepentingan ekonomi mendominasi pertimbangan lingkungan. “Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi area tambang seharusnya melalui perubahan tata ruang maupun pelepasan kawasan hutan sesuai aturan,” terang dia dalam siaran pers, Rabu (18/6).

Pria yang akrab disapa Mayong ini menjelaskan, untuk dapat melakukan kegiatan penambangan di kawasan hutan, perusahaan tidak hanya harus mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Kementerian ESDM, tetapi juga harus mendapatkan izin pemanfaatan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan, Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).

Namun, ia menyayangkan jika ada perusahaan yang awalnya hanya mengantongi izin eksplorasi, tetapi langsung melangkah ke aktivitas produksi tanpa pengawasan. “Idealnya, pemerintah daerah dan pusat saling memantau, dan proses verifikasi lapangan dilakukan secara ketat sebelum izin diberikan. Sayangnya, lemahnya koordinasi antarlembaga acapkali membuka celah untuk terjadinya pelanggaran administratif maupun substansial,” tegasnya.

Dalam konteks hukum, perusahaan tambang memiliki hak untuk menggugat pencabutan izin ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kembalinya izin yang telah dicabut, nilai dia, menunjukkan adanya dua masalah sekaligus, yakni kelemahan dalam prosedur administratif dan lemahnya pengawasan pasca pencabutan.

Ia menekankan, penegakan hukum lingkungan tidak boleh berhenti di atas kertas tetapi harus menyentuh realitas di lapangan. “Jika pengawasannya lemah, perusahaan bisa saja diam-diam melanjutkan operasi sambil menunggu hasil gugatan,” ungkapnya.

Tantangan Geografis

Ia juga menyoroti bahwa situasi di Papua Barat Daya memang memiliki tantangan geografis dan kapasitas yang tidak seimbang. Wilayah yang luas, terpencil, dan terdiri dari banyak pulau menyulitkan patroli dan pengawasan secara rutin.

Selain itu, setelah diberlakukannya UU Minerba 2020 dan UU Cipta Kerja, wewenang perizinan tambang ditarik ke pemerintah pusat. Hal ini membuat pemerintah daerah kehilangan peran strategis dalam pengawasan di lapangan. Untuk itu, ketimpangan antara kebijakan terpusat dan kenyataan geografis di daerah harus segera dijembatani melalui pendekatan yang lebih desentralistik.

“Aparat pusat tidak selalu bisa menjangkau detail operasi di daerah terpencil, dan ini memperbesar risiko pelanggaran yang luput dari perhatian,” katanya.

Menurutnya, solusi ideal pengawasan adalah membangun sistem pengawasan lintas sektor yang bersifat kolaboratif dan adaptif. “Ditjen Gakkum Kemenhut perlu proaktif turun ke lapangan dan bekerja dengan data spasial yang akurat,” ujarnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya