Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PARA pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia masih menanti kepastian hukum terkait perpanjangan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% hingga akhir 2025.
Meski pemerintahan Prabowo-Gibran telah menjanjikan perpanjangan tersebut, regulasi yang mengikat belum diterbitkan, menimbulkan ketidakpastian di kalangan wajib pajak.
Partner RDN Consulting Leander Resadhatu menyoroti kebingungan yang dialami pelaku usaha akibat ketidakjelasan regulasi.
“Ketidakpastian ini berpotensi meningkatkan ketidakpatuhan pajak dan risiko hukum bagi wajib pajak. Para pelaku UMKM masih menunggu kepastian mengenai siapa yang berhak atas perpanjangan insentif ini serta bagaimana mekanismenya akan diberlakukan,” ujarnya.
Pernyataan resmi mengenai perpanjangan insentif PPh Final 0,5% pertama kali disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers Paket Stimulus Ekonomi pada 16 Desember 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga beberapa kali menegaskan dukungan pemerintah terhadap insentif pajak bagi UMKM.
Bahkan, Kementerian Koperasi dan UKM sempat menyebut bahwa regulasi terkait akan diselesaikan paling lambat awal Januari 2025. Namun, hingga kini, payung hukum tersebut belum terealisasi.
Saat ini, ketentuan pajak bagi UMKM masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. PP ini menetapkan tarif PPh Final 0,5% bagi wajib pajak dengan peredaran bruto hingga Rp4,8 miliar per tahun, namun dengan batas pemanfaatan maksimal tujuh tahun pajak.
Dengan demikian, wajib pajak yang telah menggunakan insentif ini sejak 2018 tidak lagi dapat menikmatinya.
Selain itu, PP 55/2022 mengatur batas waktu pemanfaatan insentif bagi berbagai bentuk badan usaha, seperti koperasi, firma, dan badan usaha milik desa, selama empat tahun. Sementara itu, bagi perseroan terbatas (PT), durasi pemanfaatan hanya tiga tahun.
"Jika insentif PPh Final 0,5% tidak diperpanjang, wajib pajak setidaknya perlu diberikan waktu dan kejelasan untuk menyusun strategi perpajakan guna menjaga keberlanjutan usaha," lanjut Resadhatu.
Sesuai regulasi yang berlaku, wajib pajak memiliki opsi untuk melakukan pembukuan atau menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.
"Para pelaku UMKM telah menunggu lebih dari tiga bulan tanpa kejelasan dari pemerintah. Pertanyaannya sekarang: sampai kapan wajib pajak harus menunggu kepastian hukum mengenai pengenaan aturan ini?" pungkasnya. (Z-1)
Agen gas LPG 3kilogram (Kg) mengeluhkan pengenaan pajak penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas biaya angkut.
Wamenkeu) III Anggito Abimanyu mengungkapkan penerimaan pajak sepanjang tahun lalu tidak mencapai target yang dipatok Rp1.988,9 triliun, pajak penghasilan (PPh) kontraksi
Keringanan pajak dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
Bagaimana semestinya pemerintah bersikap agar situasi dan kondisi yang ada tak benar-benar menjelma menjadi bencana?
Potensi nilai kerugian negara akibat perbuatannya mencapai Rp2,5 miliar.
Sampai saat ini tapping box sudah terpasang sebanyak 185 unit.
Tiga sektor pajak daerah yang sudah mencapai target bahkan melebihi adalah sektor hiburan, reklame, dan sarang burung walet
Menjelang akhir tahun, penerimaan pajak daerah sudah melampaui target
Perubahan perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah berkaitan dengan terbitnya UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved