Headline

Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Inflasi Terjaga, BI Diperkirakan Tetap Pertahankan Suku Bunga

M Ilham Ramadhan Avisena
14/1/2025 15:12
Inflasi Terjaga, BI Diperkirakan Tetap Pertahankan Suku Bunga
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta.(ANTARA/Hafidz Mubarak)

BANK Indonesia diperkirakan akan kembali mempertahankan BI rate di level 6% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Januari 2025 yang hasilnya akan diumumkan Rabu (15/1). Proyeksi itu berlaku dengan mempertimbangkan kondisi pasar keuangan global yang berpengaruh pada nilai tukar rupiah.

"Kebijakan mempertahankan suku bunga BI rate juga mempertimbangkan terkendalinya imported inflation akibat pelemahan nilai tukar rupiah," ujar Ekonom Bank Permata Josua Pardede melalui keterangannya, Selasa (14/1).

Dia menambahkan, bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) telah memangkas Fed Fund Rate sebesar 100bps hingga 4,25%-4,50% sepanjang 2024. Dalam  rapat bulanan The Fed di Desember 2204, bank sentral AS memperkirakan ada kemungkinan penurunan hingga 50bps di 2025.

Pertimbangannya, kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih cenderung ketat. Sementara itu, ekspektasi inflasi AS cenderung tetap tinggi, khususnya mempertimbangkan dampak kebijakan AS ke depan di bawah kepemimpinan Donald Trump.

Dari langkah The Fed itu, BI memutuskan untuk mempertahankan BI rate di level 6,00% pada RDG bulan Desember 2024 karena tekanan terhadap rupiah dan arus modal masuk yang terbatas.

Josua mengatakan, pergerakan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek masih akan dipengaruhi oleh sentimen pasar terhadap kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan Donald Trump yang turut mendorong penguatan dolar AS terhadap mata uang global.

Hal itu terindikasi oleh indeks dolar pada keseluruhan tahun 2024 sebesar 7% dan penguatan dolar AS masih berlanjut hingga awal tahun 2025 ini, bahkan sudah menembus level 110.

"Penguatan dolar AS tersebut juga diikuti dengan kenaikan yield UST (US Treassury) 10 tahun di sepanjang tahun 2024 yang lalu sebesar 69 bps ke level 4,57%, dan kenaikan yield UST pun masih berlanjut hingga awal tahun 2025 ini sekitar 21 bps menjadi ke level 4,78%," jata Josua.

Rupiah yang masih bertengger di atas Rp16.000 per dolar AS mencerminkan tantangan ekonomi global dan domestik. Melemahnya rupiah terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS akibat kebijakan moneter yang cenderung hawkish oleh The Fed meskipun ada penurunan suku bunga.

Pasar, imbuh Josua, tetap memandang dolar sebagai aset aman di tengah ketidakpastian global. Rupiah juga terpengaruh oleh penurunan minat investor asing terhadap Surat Berharga Negara (SRBI) pada bulan Desember lalu dan faktor ketidakpastian politik global, seperti kebijakan baru AS.

Di awal tahun 2025 ini, investor asing membukukan net sell di pasar saham sekitar US$181,3 juta, meski kepemilikan investor asing pada SBN cenderung meningkat sekitar US$248,8 juta dan kepemilikan investor asing pada SRBI juga meningkat US$95,22 juta.

Cadangan devisa Indonesia meningkat menjadi US$1155,7 miliar, memberikan ruang tambahan bagi Bank Indonesia untuk intervensi di pasar valas. Namun, kata Josua, tantangan tetap ada.

"Intervensi yang terlalu agresif dapat menjadi mahal dan mengurangi fleksibilitas BI dalam menjaga stabilitas likuiditas domestik. Apalagi, spread suku bunga riil yang tinggi di Indonesia menunjukkan fokus untuk menjaga stabilitas nilai tukar," jelasnya.

"Dalam jangka pendek, penguatan dolar AS dan sentimen global dapat terus memberikan tekanan pada rupiah. Namun, dengan cadangan devisa yang solid, BI memiliki kapasitas untuk menjaga volatilitas yang berlebihan. Prospek jangka panjang tergantung pada kondisi global, termasuk kebijakan moneter AS, perdagangan internasional, dan daya tarik investasi asing di Indonesia," tambahnya.

Mempertimbangkan faktor sentimen global, terutama kebijakan luar negeri AS di bawah pemerintahan Donald Trump, cukup mendominasi pasar keuangan global termasuk pasar keuangan domestik.

Jika mengacu pada neraca keuangan pada Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), investasi portofolio diperkirakan masih akan mengalami defisit dalam semester I 2025 ini, meskipun defisit pada neraca investasi portofolio tersebut diperkirakan dapat ter-offset dengan surplus pada neraca investasi langsung. (Mir/E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Mirza
Berita Lainnya