Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
RENCANA pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 dikhawatirkan akan memicu pengurangan tenaga kerja. Pasalnya, di tengah perlambatan ekonomi yang ditandai dengan deflasi selama lima bulan berturut-turut, penurunan daya beli masyarakat yang diikuti kenaikan biaya produksi berdampak secara langsung pada operasional industri termasuk industri tembakau.
“Penaikan PPN hingga 12% pasti akan berdampak pada biaya produksi. Peningkatan biaya sangat berpotensi besar memicu kenaikan harga produk akhir, sebab PPN yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya bahan baku yang dibeli oleh produsen. Selain bahan baku, semua proses produksi juga akan terkena dampak dari kenaikan PPN, termasuk biaya operasional seperti energi, transportasi, dan lainnya,” kata pemerhati ekosistem industri tembakau, Hananto Wibisono dalam keterangan yang diterima, Rabu (4/12).
Naiknya PPN juga akan diikuti dengan kenaikan tarif PPN atas penyerahan rokok yang juga naik menjadi 10,7% dari yang sebelumnya 9,9%. Jika dibiarkan, orang pun berpotensi beralih menggunakan rokok ilegal yang semakin mengancam situasi buruh, petani, serta semua yang terlibat dalam IHT dengan adanya bayang-bayang perpindahan konsumsi yang tergambar dalam penurunan daya beli terhadap produk legal.
Saat ini, pendapatan negara dari cukai IHT mencapai Rp213 triliun dengan rantai ekonomi yang melibatkan lebih dari enam juta orang. Jika tidak berhati-hati, dampak negatifnya dapat menyebabkan sendi-sendi perekonomian tertatih-tatih untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 8%.
“Produsen berpotensi menaikkan harga jual produknya, meskipun ini berisiko terhadap serapan pasar. Jika harga jual naik, permintaan berpotensi menurun yang berpengaruh pada penjualan dan laba perusahaan. Jika penurunan permintaan dan keuntungan signifikan, produsen terpaksa mengambil langkah ekstrem seperti PHK untuk mengurangi biaya operasional,” ujarnya.
Sementara itu, pendapatan negara perlu dijaga stabilitasnya. Kemampuan pemerintah dalam menjaga pendapatan negara, mengingat kontribusi cukai rokok menopang beban fiskal negara yang besaranya lebih kurang 11% dari APBN, perlu mempertimbangkan situasi saat ini ketika peredaran rokok ilegal semakin marak.
Berdasarkan hasil survei terbaru yang dirilis Indodata, angka peredaran rokok ilegal di Indonesia pada 2024 mencapai 46,95 persen dan menimbulkan dampak kerugian negara yang jumlahnya mencapai Rp97,81 triliun. Padahal, proyeksi kerugian negara pada 2022 lalu jumlahnya ‘hanya’ sekitar Rp53 triliun. Kementerian Keuangan juga pernah mencatatkan kerugian negara yang cukup besar akibat rokok ilegal, mencapai Rp13,48 triliun pada 2021.
Peningkatan harga rokok menjadi penyebab pergeseran konsumsi ke rokok yang lebih murah, yang berkontribusi pada meningkatnya konsumsi rokok ilegal. Untuk itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam merumuskan kebijakan yang berdampak pada kenaikan harga rokok, karena berkaitan secara langsung dengan perubahan pola konsumsi masyarakat ke rokok ilegal, serta keberlangsungan pekerja yang terlibat dalam industri.
Sebelumnya, terjadi pengetatan yang dianggap berlebihan terhadap IHT. Selain keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan) yang melarang penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan area bermain anak, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga mendorong perumusan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik (RPMK Tembakau). Dalam draf aturan Permenkes tersebut, Pemerintah memaksa melakukan penyeragaman kemasan, dengan semakin mempersulit konsumen untuk membedakan antara rokok legal dan ilegal.
Kebijakan nonfiskal tersebut dapat mendorong pertumbuhan rokok ilegal yang mengancam keberlangsungan industri di tengah situasi ekonomi yang belum stabil. Kebijakan lain, seperti rencana pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12% dapat berdampak langsung pada pekerja di sektor tembakau. Ke depannya, peraturan yang disusun perlu didukung oleh kajian yang objektif, komprehensif, dan inklusif, dengan dukungan data yang sesuai, lengkap, dan transparan. (P-5)
Desakan untuk membatalkan pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pengamanan Zat Adiktif semakin menguat.
Pemerintah kembali menuai kritik tajam atas implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Penolakan terhadap pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus menguat.
Fasilitas ini menjadi pabrik produk tembakau bebas asap pertama milik PMI di Asia Tenggara dan yang ketujuh di dunia.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 memicu kekhawatiran serius di kalangan legislatif dan pelaku ekonomi nasional.
Dihentikannya pembelian tembakau oleh dua perusahaan rokok kretek besar, yaitu PT Gudang Garam dan Nojorono di Temanggung, Jawa Tengah, merupakan kabut hitam perekonomian nasional.
Penaikan ini tidak sepadan dengan dampaknya, mulai dari semakin lemahnya daya beli masyarakat, potensi inflasi, hingga meningkatnya kesenjangan ekonomi.
ANGGOTA Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kamrussamad menyiratkan bahwa rencana penaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tahun depan tetap berjalan.
DPR RI berharap pembahasan mengenai Rancangan Undang Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dapat segera dilakukan bersama pemerintah.
MENTERI Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani telah memutuskan ru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12% per 1 Januari 2025.
PENAIKAN PPN menjadi 12% dinilai dilakukan pada momentum yang kurang tepat. Itu karena dalam beberapa waktu terakhir terjadi penurunan konsumsi, alias daya beli masyarakat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved