Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

5 Hal yang Dicermati Bank Indonesia setelah Trump Terpilih Jadi Presiden AS

M Ilham Ramadhan Avisena
20/11/2024 17:26
5 Hal yang Dicermati Bank Indonesia setelah Trump Terpilih Jadi Presiden AS
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (tengah)(ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

BANK Indonesia memastikan bakal terus memonitor perkembangan ekonomi dunia, termasuk terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. BI tak menampik hal itu bakal memengaruhi perkembangan ekonomi global, termasuk Indonesia. 

"BI terus memantau, mencermati, melakukan asesmen atas proses politik di AS dan terutama hasil pemilu yang Presiden Trump terpilih kembali. Tentu saja asesmen itu dinamis, tapi kami terus melakukan asesmen itu dan juga menakar dampaknya terhadap Indonesia," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (20/11).

Setidaknya terdapat lima hal yang dicermati oleh bank sentral. Pertama, ialah menyangkut kebijakan ekonomi dan politik Trump. Berkaca dari historis, Trump kerap menggunakan kebijakan yang bersifat inward looking, atau mementingkan perekonomian domestik.

Hal tersebut bakal memberi dampak, termasuk pada negara-negara yang menjadi mitra dagang utama AS seperti Tiongkok, Uni Eropa, hingga Meksiko. Negara-negara tersebut bakal dikenakan tarif perdagangan yang lebih tinggi dari AS.

"Kemungkinan mulai akan diterapkan pada semester II 2025. Misal, kepada UE, ada tarif 25% untuk besi, alumunium, kendaraan bermotor. Dengan Tiongkok 25% untuk mesin elektronik dan chemical. Ini yang kami baca, tentu saja kami akan terus diskusikan," jelas Perry. 

"Pengenaan tarif tinggi ini yang kami sebut fragmentasi perdagangan ini yang kemudian akan menyebabkan perlambatan ekonomi di negara-negara tadi. Tongkok yang selama ini melambat, kemungkinan akan melambat, EU yang sedang naik, kemungkinan tidak jadi naik," tambah dia. 

Alhasil, perekonomian dunia juga diprediksi bakal terimbas dan tumbuh melambat pada tahun depan. Semula, BI memperkirakan ekonomi global di 2025 bakal tumbuh setidaknya sama dengan proyeksi tahun ini, yaitu 3,2%. Namun karena adanya efek Trump, ekonomi dunia diperkirakan hanya mampu tumbuh 3,1% di tahun depan.

Sementara mematok tarif perdagangan tinggi, kebijakan Trump di ekonomi domestik AS diperkirakan akan ekspansif.  Itu berupa pemotongan pajak, baik individu maupun tingkat perusahaan. Dari hitungan BI, pemotongan pajak individu akan mencapai 3% di tiap tingkatan, dan pajak perusahaan di angka 21%.

Kedua, yang menjadi perhatian BI ialah penurunan inflasi di AS yang berpotensi melambat. Angka inflasi Negeri Paman Sam yang saat ini berada di angka 2,7% dan sedianya dalam tren menuju sasaran 2% dalam jangka menengah diduga akan terus bertahan di level yang tinggi.

Kondisi itu bakal memengaruhi kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed). The Fed yang semula diperkirakan bakal memangkas suku bunga hingga 100 basis poin di tahun depan, kini diproyeksikan hanya akan memotong bunga acuan hingga 50 basis poin. 

Ketiga, lanjut Perry, ialah kebijakan fiskal Trump yang ekspansif dan berpotensi mendorong pelebaran defisit AS hingga ke level 7,7% dari PDB AS. Hal itu bakal menyebabkan peningkatan penerbitan surat utang AS (US Treasury/UST) secara signifikan. 

"Itu berarti UST yang tempo hari sudah turun, sekarang sudah naik. UST meningkat, baik jangka pendek, maupun jangka panjang. Prediksi kami UST 2 tahun, tempo hari pernah 3,7-3,8%, sekarang sudah 4,3% untuk yang 2 tahun. Padahal itu kemungkinan juga akan naik tahun depan jadi 4,5%," kata Perry.

"Yang 10 tahun tempo hari sudah turun, sekarang kembali naik 4,4%. Tahun depan kemungkinan bisa naik 4,7%. Karena memang kebijakan fiskal yang ekspansif. Utang AS akan lebih banyak, sehingga yield UST itu akan kemudian sekarang sudah meningkat dan kemungkinan bergerak meningkat dengan yang 10 tahun akan meningkat lebih tinggi," lanjutnya. 

Situasi itu membuat BI turut mencermati hal keempat, yakni perubahan preferensi investor global untuk kembali ke AS. Itu pula yang mendorong pada hal kelima, yakni menguatnya nilai tukar AS terhadap mata uang utama negara lain. 

"Tempo hari (indeks) dolar pada RDG bulan lalu mengarah ke 101, sekarang sudah 106, bahkan lebih tinggi. Dan penguatannya broad base, kepada seluruh hampir negara. Ini terjadi secara luas, DXY dolar terhadap mata uang utama yang sudah melemah ke 103 bahkan mengarah ke 101, kembali mengarah menguat tajam pascapemilu, bahkan 106,5. Ini mulai mengarah pada keseimbangan baru. Ini yang terus kami pantau untuk menentukan respons kita," pungkas Perry. (Mir/M-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya