Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Pengembangan Industri Energi Hijau Jadi Prioritas Ekspor Indonesia

 Gana Buana
21/8/2024 20:05
Pengembangan Industri Energi Hijau Jadi Prioritas Ekspor Indonesia
Target ekspor energi hijau(MI)

Indonesia tengah memperkuat komitmennya untuk menjadi pemain utama dalam ekspor energi hijau di masa depan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan bahwa Indonesia perlu memperluas pengembangan industri energi hijau guna mempertahankan posisinya sebagai eksportir energi sekaligus membangun industri energi yang berkelanjutan.

Baca juga : Menuju Net Zero Emision, Energi Baru Terbarukan Jadi Harga Mati

Dikutip dari Antara, pada acara Indonesia Solar Summit (ISS) 2024 yang digelar di Jakarta pada Rabu (21/8), Luhut menekankan bahwa langkah ini diperlukan untuk menggantikan ketergantungan pada ekspor bahan bakar fosil, yang selama ini menjadi tumpuan perekonomian Indonesia.

Berdasarkan data dari Bank Indonesia dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ekspor bahan bakar fosil Indonesia pada tahun 2023 mencatatkan angka yang cukup signifikan.

Ekspor batu bara mencapai 518 juta ton dengan nilai 43 miliar dolar AS, sementara ekspor gas pipa dan LNG masing-masing mencapai 181 juta metrik british thermal unit (MMBTU) dan 474 juta MMBTU, dengan total nilai sekitar 8 miliar dolar AS.

Baca juga : Rantai Suplai yang Tangguh dan Fleksibel Kunci Hadapi Tantangan Global

Meskipun demikian, Luhut menekankan bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, yang mencakup berbagai sumber seperti energi surya, angin, hidrogen, bioenergi, panas bumi, dan laut. Potensi energi surya saja diperkirakan mencapai 3.286 gigawatt (GW), sementara potensi angin mencapai 155 GW, hidrogen 95 GW, bioenergi 57 GW, panas bumi 24 GW, dan energi laut 20 GW.

Namun, ia mengakui bahwa produksi energi terbarukan saat ini masih sangat terbatas, hanya sekitar 7 GW. Oleh karena itu, Luhut menegaskan pentingnya memperluas pengembangan industri energi hijau di dalam negeri.

Salah satu langkah konkret yang telah dilakukan Indonesia pada tahun 2023 adalah penandatanganan kerja sama dengan Singapura dalam pengembangan industri manufaktur energi terbarukan, termasuk produksi panel surya dan sistem penyimpanan energi baterai (Battery Energy Storage System - BESS).

Baca juga : Dewan Energi Nasional dan PT ThorCon Power Indonesia Gelar FGD Penyusunan Proposal PLTN Pertama di Indonesia

Kerja sama tersebut telah berhasil menarik investasi besar di sektor energi hijau, terutama dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan rantai pasok baterai.

Total investasi yang diperoleh mencapai puluhan miliar dolar AS, termasuk 30 hingga USD50  dari perusahaan pengembang energi, 1,7 miliar dolar AS dari produsen panel surya, dan USD1 dari produsen baterai dan inverter.

Luhut juga menyoroti pentingnya mengembangkan industri panel surya domestik untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan memastikan keberlanjutan model ekspor energi hijau.

Baca juga : Tumbuh Berkelanjutan Melayani Negeri, Pertamina Patra Niaga Awali 27 Tahun dengan Memberi Energi di Setiap Perjalananmu

"Kita akan mengekspor 2 GW energi surya ke Singapura, dan pada saat yang sama, kita juga harus membangun industri panel surya kita sendiri. Kami tidak ingin mengimpor panel surya untuk mengekspor energi hijau ke Singapura," tegasnya.

Dengan langkah-langkah strategis ini, Indonesia berambisi untuk tidak hanya menjadi eksportir energi hijau, tetapi juga memastikan keberlanjutan industri energi hijau yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional di masa depan.

Strategi Menuju NZE

Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan serangkaian strategi untuk mencapai target Net Zero Emissions (NZE). Sekretaris Direktorat Jenderal Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Sahid Junaedi mengungkapkan bahwa beberapa langkah penting yang akan diambil termasuk pemanfaatan energi baru terbarukan, penurunan bertahap operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), elektrifikasi berbagai sektor, penerapan teknologi maju seperti Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), serta penerapan efisiensi energi.

Selain itu, Sahid menambahkan bahwa setelah tahun 2030, tambahan pembangkit listrik di Indonesia hanya akan berasal dari energi baru dan terbarukan.

Bahkan, mulai tahun 2035, sumber energi yang mendominasi akan berasal dari variable renewable energy (VRE), salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Direktur Eksekutif Institute Essential for Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, turut memberikan pandangannya terkait pengembangan industri energi terbarukan di Indonesia.

Fabby menyoroti bahwa pemerintah baru-baru ini menerbitkan aturan mengenai relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Aturan ini, menurutnya, bisa menjadi peluang untuk mendorong permintaan modul surya dalam proyek-proyek kelistrikan.

Namun, ia mengingatkan bahwa tanpa pengelolaan yang baik, regulasi ini dapat menggerus daya saing modul surya lokal yang harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah dan berkualitas lebih baik.

"Untuk itu, pemerintah perlu mendukung produsen modul surya lokal dengan memberikan bantuan modal, serta insentif fiskal dan non-fiskal untuk menekan biaya produksi agar mereka dapat bersaing dengan modul impor. Selain itu, perlu ada regulasi yang menciptakan pasar domestik khusus untuk menyerap produksi mereka, sembari bekerja sama dengan produsen global untuk transfer teknologi," ujar Fabby.

Ia juga menambahkan bahwa dalam menghadapi tantangan pembangunan rantai pasok industri PLTS, pemerintah harus turun tangan.

Menurut Fabby, modal yang dibutuhkan untuk membangun rantai pasok mulai dari polysilicon, wafer, sel, hingga modul surya mencapai USD 170 hingga 190 juta per Gigawatt (GW) kapasitas. Dengan investasi sebesar itu dan risiko yang tinggi, pemerintah perlu merumuskan paket kebijakan dan insentif untuk menarik investor, baik di sisi industri maupun dalam penciptaan permintaan domestik.

Sementara itu, Pimpinan RE100 Ollie Wilson menyatakan bahwa sebagai organisasi yang menaungi industri-industri yang berkomitmen menggunakan 100 persen energi terbarukan, keberadaan rantai pasok komponen PLTS yang kuat dan terintegrasi di Indonesia akan membuka akses yang lebih luas bagi industri untuk mendapatkan energi terbarukan dengan biaya lebih terjangkau.

"Kami menyadari bahwa bisnis yang beroperasi di Indonesia membutuhkan akses luas terhadap listrik terbarukan. Dengan adanya industri PLTS domestik, bisnis-bisnis ini, serta ratusan bisnis lainnya di seluruh Indonesia, akan mendapatkan akses listrik yang lebih murah dan lebih bersih. Hal ini akan membantu mereka memenuhi komitmen internasional dan memastikan tercapainya target NZE," jelas Ollie Wilson.

Dengan berbagai langkah dan dukungan dari berbagai pihak, Indonesia diharapkan dapat mempercepat transisinya menuju NZE, sekaligus memperkuat daya saing industri energi terbarukan di kancah internasional.  (Ant/Z-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana
Berita Lainnya