Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Indef: Dampak CBAM, Pemerintah Harus Dukung Industri Baja

Media Indonesia
19/2/2024 08:22
Indef: Dampak CBAM, Pemerintah Harus Dukung Industri Baja
Pekerja beraktivitas di pabrik baja.(Ant)

IMPLEMENTASI kebijakan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM) oleh Uni Eropa (UE) berdampak besar pada industri baja dalam negeri, termasuk membengkaknya biaya produksi.

Itu sebabnya, pemerintah harus memberi dukungan kuat kepada industri baja di Indonesia, termasuk melalui regulasi yang tepat.

Demikian disampaikan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, dalam keterangannya, hari ini.

Baca juga : Geliatkan Industri, Indonesia Ekspor Baja Ke Amerika

”Ya, (kuncinya) memang dukungan pemerintah. Sebab, memang teknologi energi bersih kan mahal. Begitu pula dengan regulasi, pemerintah harus mempermudah,” jelas Tauhid.

Karena itulah, Tauhid sependapat, meski ekspor produk baja Indonesia ke UE relatif kecil dibandingkan dengan total ekspor nasional, tetapi industri baja nasional juga menghadapi tekanan serius.

Sebab, jalur produksi berbasis batu bara yang digunakan sekarang memang signifikan meningkatkan emisi. Baja dalam negeri yang diekspor ke Tiongkok dan kemudian diolah untuk dijual ke UE misalnya, pasti meninggalkan jejak karbon.

Baca juga : 2023 Jadi Tahun Terpanas Sejak Era Praindustri, Hasil Studi Copernicus

”Ini tantangan sekaligus tekanan dari UE. Dan itu tidak hanya terjadi pada baja dan sawit, tetapi hampir semua komoditas,” imbuhnya.

Karena itulah, dukungan yang tepat dari pemerintah sangat diperlukan. Termasuk kemudahan kebijakan yang memungkinkan transisi ke teknologi net zero emission, sehingga industri baja Indonesia mampu menghadapi tantangan global dengan menjaga daya saing dan profitabilitasnya.

”Betul, regulasinya harus mendukung, pemerintah harus menyiapkan. Misal ada industri yang berorientasi ke arah sana (aspek hijau sesuai kebijakan CBAM), pendekatan green finance bisa dilakukan. Itu harus ada insentif, selisih bunga yang signifikan,” tutur Tauhid.

Baca juga : RI Ketinggalan Adopsi Kendaraan Listrik Dibandingkan Vietnam

Insentif tersebut, menurut Tauhid, merupakan langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah. Pasalnya, beberapa sektor sudah memperoleh, seperti insentif pajak dan pengurangan bea masuk.

”Bahkan ada subsidi untuk otomotif. Nah, besi dan baja kan belum. Jadi, harus disiapkan dan terus dikaji,” kata dia.

”Syaratnya, kebijakan tersebut tidak hanya untuk menghadapi CBAM dari UE. Lebih dari itu, agar industri baja nasional bisa bersaing di pasar global,” lanjutnya.

Baca juga : Ekspor RI ke Tiongkok Naik 25,66%, Terbanyak Feronikel

Memang, imbuh Tauhid, tidak semua industri baja bisa memperoleh. Privilege dapat diberikan kepada industri baja yang sebagian sudah memenuhi aspek hijau.

”Dengan demikian, industri tersebut bisa memenuhi aspek permintaan pasar UE. Hal ini sama seperti di sawit dan lainnya, tidak semua dapat tapi sudah ada dukungan dari pemerintah,” lanjutnya.

Sebagai informasi, kebijakan CBAM diterapkan UE untuk mengurangi risiko 'kebocoran karbon' yang terjadi saat perusahaan UE memindahkan produksi mereka ke negara-negara dengan kebijakan iklim yang lebih longgar. UE memulai tahap transisi penerapan CBAM pada 1 Oktober 2023 dan secara efektif akan memberlakukan CBAM pada 1 Januari 2026. (S-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sidik Pramono
Berita Lainnya