Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Agar Iklim Bisnis Lebih Menarik, UU Kepailitan Perlu Diperkuat

Media Indonesia
27/10/2023 07:24
Agar Iklim Bisnis Lebih Menarik, UU Kepailitan Perlu Diperkuat
Foto udara gedung perkantoran dari kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta. Perlu penguatan UU Kepailitan untuk meningkatkan iklim bisnis.(MI/Ramdani)

Undang - Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) saat ini telah berusia 19 tahun dan perlu diperkuat agar bisa mengikuti dinamika dan perkembangan ekonomi yang semakin kompleks.    

Selama ini para pelaku usaha di Indonesia menggunakan UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU sebagai acuan untuk menyelesaikan perselisihan bisnis dalam bentuk utang-piutang. Namun demikian, seiring dengan ekosistem bisnis yang semakin kompleks dan melampaui batas negara, UU tersebut ternyata menjadi kurang mampu memberikan kepastian hukum bagi kreditur dan debitur atau para pihak yang berselisih.
        
Managing Partner Dwinanto Strategic Legal Consultant (DSLC), Rizky Dwinanto melihat penggunaan UU No. 37/2004 telah bergeser dari tujuan utamanya, sebagai salah satu sarana untuk penyelesaian utang-piutang yang adil, cepat, transparan dan efektif.
        
Rizky menilai kehadiran UU No. 37/2004 seharusnya ditujukan untuk melindungi debitur yang mengalami kendala dalam berusaha atau berbisnis.
        
Menurutnya, melalui UU tersebut debitur yang mengalami kesulitan dalam berusaha sehingga terkendala dalam menunaikan kewajiban pembayaran utangnya kepada kreditur, dapat mengajukan skema PKPU.

“Atau mungkin kalau debitur yang benar-benar sudah sangat kesulitan dalam berbisnis dan membayar utangnya, dia bisa memakai mekanisme pengajuan pailit. Jadi fokusnya ke perlindungan debitur,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Jumat (27/10)
        
Namun demikian, menurut Rizky, saat ini UU No. 37/2004 justru dijadikan alat atau skema hukum untuk melakukan penagihan utang oleh kreditur kepada debitur. Akibatnya, mayoritas permohonan PKPU dan pailit di Indonesia justru lebih banyak datang dari kreditur.
        
“Kalau berangkat dari fenomena saat ini, ketika utang belum terbayar 2 bulan sudah dimohonkan PKPU, lalu utang Rp100 juta belum terbayar sudah diajukan PKPU. Ini akhirnya jadi moral hazard. Seharusnya kita lihat dulu kondisi perusahaan debitur dan kondisi ekonomi saat ini. Supaya jangan sedikit-sedikit PKPU atau pailit,” tambahnya.
        
Untuk itu, dia menilai penting revisi UU No. 37/2004 agar sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi perekonomian saat ini.
        
Sementara itu, Presiden Direktur AJ Capital Geoffrey D. Simms menyatakan dalam sistem ekonomi yang semakin kompleks dan terhubung (melampaui batas negara), hukum harus dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan yang sama, baik bagi kreditur maupun debitur.
        
“Kreditur, debitur, dan pengadilan semuanya harus berpartisipasi dan memiliki peran masing-masing dalam proses kepailitan dan PKPU. Pengadilan niaga tentu akan berusaha untuk menemukan penyelesaian yang adil bagi semua pihak. Pengadilan niaga juga harus berusaha untuk menjaga perusahaan [debitur] tetap beroperasi dan memberikan perlindungan kepada semua pemegang saham. Itu adalah semangat hukum modern,” tegasnya

Simms menyatakan hukum harus digunakan sebagai sarana untuk melakukan restrukturisasi bisnis yang sehat dengan memastikan hak-hak para kreditur terlindungi sambil membantu mengatasi masalah perusahaan (debitur) yang mengalami kesulitan agar kembali sehat dan dapat menyelesaikan kewajiban yang dimilikinya.        

Penegakan hukum kepailitan yang kuat dan konsisten, katanya, dapat membantu meminimalkan risiko penyalahgunaan proses kepailitan, yang dapat berdampak negatif pada para pemegang saham dan kreditur.

Simms mengingatkan bahwa setiap kasus kepailitan dan PKPU memiliki keunikannya masing-masing, di mana ada situasi yang berbeda dalam setiap kasus. Pengadilan niaga tentunya harus  mempertimbangkan fakta-fakta khusus dari kasus tersebut ketika membuat keputusan.

“Ini bukan hanya tentang melindungi kepentingan ekonomi perusahaan, debitur. Tapi juga melindungi hak-hak hukum dari kreditur. Bagaimana kreditur tahu hak-hak mereka akan dilindungi jika misalnya ternyata ada debitur yang memang tidak ingin membayar kembali. Itu terjadi, bukan? Jadi harus dilihat dari dua sisi.”

Simms mengatakan ketidakpastian penyelesaian yang adil dalam putusan kepailitan dikhawatirkan dapat meningkatkan persepsi risiko dalam pemberian pinjaman. Lembaga keuangan, katanya, mungkin memandang pinjaman kepada individu atau perusahaan di Indonesia lebih berisiko jika mereka tidak yakin tentang prosedur dan perlindungan hukum yang akan diberikan dalam proses kepailitan.

“Oleh karena itu, untuk mengkompensasi risiko yang lebih tinggi, mereka mungkin menawarkan tingkat bunga yang lebih tinggi. Dengan demikian biaya peminjaman akan naik dan ekonomi secara keseluruhan akan menjadi lebih buruk,” ungkapnya.

Dalam laporan EoDB Bank Dunia yang terakhir dirilis pada 2020, peringkat Indonesia dalam topik Resolving Insolvency berada di posisi 38 dunia. Jika dibandingkan dengan sesama negara di Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Thailand yang berada di posisi 24 dan Singapura di peringkat 27.   Karena itu revisi UU No. 37/2004 juga perlu dilakukan agar iklim berbisnis di Indonesia menjadi lebih menarik dan dapat bersaing dengan negara lain. Apalagi, peraturan dalam penyelesaian kepailitan menjadi salah satu indikator penilaian dari Bank Dunia dalam indeks Ease of Doing Business (EoDB).  (RO/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya