Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
BANK Indonesia melihat perkembangan ekonomi begitu cepat bergulir, khususnya di Amerika dan Tiongkok. Untuk Amerika, Bank Indonesia mengubah pandangannya terhadap arah kebijakan bank sentral AS The Fed pada tingkat suku bunga AS atau Fed Fund Rate.
Pada bulan-bulan sebelumnya, Bank Indonesia juga para ekonom dunia melihat sudah terjadi penurunan inflasi di Amerika. Tetapi data-data terakhir menunjukkan penurunan inflasi Amerika melambat.
Pada bulan-bulan berikutnya kondisi dari sektor keuangan AS menunjukkan sejumlah risiko, dari terjadinya kegagalan tiga perbankan AS, maupun bank regional yang lain. The Fed dan dan otoritas terkait di Amerika memang sudah mulai bisa meredakan keketatan likuiditas.
Baca juga: Bank Indonesia Pertahankan Suku Bunga Acuan 5,75 Persen Demi Kendalikan Inflasi
"Maka suku bunga AS yang semula BI perkirakan terminalnya 5,25%, menjadi ada kemungkinan baselinenya naik pada Juli mendatang menjadi 5,5%. Ini setelah Bank Indonesia mengamati dan menganalisis perkembangan data Amerika dan pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell dan juga anggota The Fed yang lain," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, pada Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) Juni 2023, di Jakarta, Kamis (22/6).
Perry menjelaskan Amerika Serikat merupakan negara yang paling cepat melakukan vaksinasi. Sehingga permintaannya cepat pulih ditandai dengan pent up yang terus meningkat.
Baca juga: Pasar Menanti Pengumuman Suku Bunga Acuan BI
Dari sisi supply, pada awal pandemi pasokan di Amerika memang terganggu mobilitasnya, juga terganggu dengan ketegangan perdagangan dengan Tiongkok.
Akibat terlihat impor Amerika dari Tiongkok menurun, demikian juga ekspor dari Tiongkok ke Amerika menurun, yang juga membuat pasokan terganggu.
Ini diperparah dengan perang Rusia dengan Ukraina yang semakin mengganggu dan menurunkan agregat pasokan dari sisi penawarannya.
"Jadi penawaran atau pasokan di Amerika memang turun karena covid-19, perang dagang dengan Tiongkok, juga Perang Rusia - Ukraina. Sementara permintaan naik sangat cepat. Ini membuat inflasi Amerika inflasi dahulu sangat tinggi, mencapai 9% yang biasanya di bawah 2%," kata Perry.
Ada beberapa hal yang melandasi sikap agresif bank sentral AS The Fed dalam menaikkan suku bunganya. Permasalahan terjadi ketika tingkat inflasi tidak kunjung turun setelah suku bunga acuan AS dinaikkan
Pertama, karena pasokan susah meningkat, sementara permintaan tidak bisa hanya dikendalikan dengan kenaikan tingkat suku bunga. Terlebih lagi, inflasi AS juga terjadi di sektor jasa.
Sebelumnya, kenaikan permintaan di AS mayoritas berasal dari komoditas barang makanan. Tapi kini semakin didominasi oleh kenaikan permintaan jasa. Di satu sisi ada kebijakan pembatasan imigrasi, sehingga pasokan dari tenaga kerja AS yang dulu banyak diisi oleh imigran menjadi terbatas.
Maka AS perlu waktu yang lebih lama bagi efektivitas kenaikan suku bunga acuan AS untuk menurunkan inflasinya.
"Ini yang terjadi di Amerika Serikat," kata Perry.
Sementara itu di Tiongkok, pada bulan-bulan sebelumnya, analisis dari Bank Indonesia di Beijing menunjukkan pembukaan kembali restriksi mobilitas, akan cepat mendorong pertumbuhan ekonomi Tiongkok.
Tapi ternyata pola pertumbuhan kenaikan ekonomi di Tiongkok tidak seperti yang prakiraan. Pertama, disebabkan oleh perang dagang, yairu ekspor Tiongkok ke Amerika memang melambat.
Sehingga daya dorong dari ekonomi yang dulu sangat tergantung pada luar negeri, menjadi tidak sekuat yang diperkirakan.
Kedua, dampak dari kenaikan mobilitas di Tiongkok, tidak serta merta mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Sehingga pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak secerah yang diperkirakan.
"Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tidak secepat pemulihan yang berjalan, sementara inflasinya juga rendah, membuat bank sentral Tiongkok (PBoC) melonggarkan moneternya, menambah likuiditas, dan menurunkan suku bunga," kata Perry
Sedangkan Eropa masih melanjutkan pengetatan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga, sementara bank sentral Jepang (BoJ) lebih membiarkan depresiasi Yen.
Ini alasannya mata uang dolar AS cenderung melemah dengan negara-negara maju, dibandingkan dolar AS dengan Euro, dolar AS dengan Yen maupun yang lain.
Tapi pengenduran moneter di Tiongkok menyebabkan mata uang dolar AS terhadap negara-negara berkembang menguat.
"Ini yang menyebabkan terjadi tekanan-tekanan pelemahan mata uang di negara-negara berkembang," kata Perry.
Sebagai respon, di dalam merumuskan respon bauran kebijakan sesuai Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), Bank Indonesia terus mengkalibrasi optimalitas antara tujuan stabilitas dengan pertumbuhan.
Optimalitas stabilitas yaitu inflasi, nilai tukar, stabilitas sistem keuangan, dan pertumbuhan.
Pada optimalisasi inflasi dan pertumbuhan, Bank Indonesia bersyukur inflasi turun lebih cepat dari prakiraan, dan masuk ke batas atas 4% pada bulan Mei. Perry katakan ada kemungkinan berada di bawah 4% pada bulan berikutnya.
Kenaikan suku bunga, stabilitas nilai tukar dan tim pengendalian inflasi, menjad obat yang manjur untuk mengendalikan inflasi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 diprakirakan antara 4,5% sampai dengan 5,3%, dengan titik tengah sekitar 5%. Imbangan antara inflasi dan pertumbuhan ini yang menentukan sikap arah kebijakan suku bunga Bank Indonesia.
Pertimbangan yang lain yaitu terhadap ketidakpastian global. Ini alasan Bank Indonesia akan lebih fokus pada obat yang langsung menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah yaitu meningkatkan intensitas intervensi dengan menggunakan cadangan devisa.
"Sehingga bila nilai tukar rupiah stabil, imported inflation akan terkendali," kata Perry.
Oleh karena itu makanya tingkat suku bunga Bank Indonesia masih bisa diarahkan untuk inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia setiap bulan akan terus melakukan kalibrasi karena ekonomi Indonesia terbuka. Sehingga penentuan kebijakan tidak hanya didasarkan pada ekonomi domestik, tetapi juga dampak rambatan.
"Yaitu memastikan inflasi terus di bawah sasaran pertumbuhan ekonomi didorong dan mengatasi dampak rambatan global dari sumbernya," kata Perry. (Z-10)
Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50% dipandang sebagai langkah konservatif yang tepat di tengah ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi domestik.
Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan, atau BI Rate di level 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) 17-18 Juni 2025 dinilai sebagai langkah yang tepat.
Fixed Income Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Karinska Salsabila Priyatno menilai ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat sangat terbatas.
KETIDAKPASTIAN arah kebijakan moneter Amerika Serikat kembali menjadi perhatian setelah desakan terbuka Presiden Donald Trump agar Federal Reserve memangkas suku bunga acuan.
BTN mempertegas posisinya sebagai pemimpin pembiayaan perumahan nasional dengan menggelar Akad Kredit Massal KPR Non-Subsidi secara serentak di lima kota besar
Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, menyambut baik keputusan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan ke 5,5%.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin, 30 Juni 2025, dibuka menguat 34,91 poin atau 0,51% ke posisi 6.932,31.
Apindo merespons Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuan di level 5,50%, tingginya suku bunga disebut menjadi penghambat lapangan kerja
BANK Indonesia(BI) mempertahankan suku bunga acuan atau BI rate di angka 5,50%. Keputusan itu diambil melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Juni 2025
LEMBAGA Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menilai Bank Indonesia perlu mempertahankan tingkat suku bunga acuan, BI Rate
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved