Jumat 31 Maret 2023, 10:33 WIB

Tragedi SVB Dinilai bukan Pengulangan Krisis 2008

Antara | Ekonomi
Tragedi SVB Dinilai bukan Pengulangan Krisis 2008

AFP/REBECCA NOBLE
Logo Silicon Valley Bank di Tempe, Arizona, Amerika Serikat.

 

WEALTH Advisory Head UOB Indonesia Diendy Liu menyatakan keruntuhan Silicon Valley Bank (SVB) bukan pengulangan krisis ekonomi 2008.

"Saat ini sedang hangat berita kegagalan beberapa bank di Amerika Serikat (AS) dan take over Credit Suisse oleh Bank UBS. Banyak yang berspekulasi bahwa kejadian ini dapat menjadi satu krisis yang sama seperti 2008, tapi kita coba memberikan penjelasan yang sebaik mungkin bahwa sebenarnya ini berbeda," kata dia di Jakarta, Kamis (30/3).

Pada 2008, krisis ekonomi disebut terjadi karena ada bubble economy. Terdapat sebuah spekulasi berlebih di sektor properti AS sehingga para kreditor yang tak layak memperoleh kredit properti justru malah diberikan kredit. Setelah itu, kredit tersebut dijual kembali oleh bank sehingga menyebabkan efek domino ketika kredit properti itu gagal.

Baca juga: Penutupan SVB Peringatan Dini Sektor Fintech

Adapun kejadian SVB dan Signature Bank di AS pada tahun ini justru terjadi karena bank-bank tersebut memperoleh Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berlimpah.

Saat pandemi covid-19, lanjut Diendy, AS merupakan salah satu negara yang memberikan bantuan fiskal paling besar. Bantuan fiskal dari pemerintah AS (semacam Bantuan Langsung Tunai/BLT) diberikan kepada masyarakat supaya tetap bertahan melewati pandemi.

Baca juga: Kepanikan Perbesar Dampak Negatif Jatuhnya SVB

Dana-dana yang diperoleh masyarakat akhirnya disimpan oleh para nasabah ke berbagai bank, salah satunya SVB. Sayangnya, tak semua bank mampu mengelola DPK dengan baik. Apalagi, semasa pandemi dengan keberlimpahan DPK, bank tak bisa menyalurkan DPK ke kredit mengingat situasi global berada di masa pandemi, sehingga bank selektif dalam memberikan kredit.

Karena tidak ditempatkan di dalam kredit, bank menaruh DPK ke Surat Berharga Negara/SBN (US Treasury di AS). Namun, karena saat itu US Treasury memiliki imbal hasil yang rendah sekali menimbang tingkat suku bunga sedang rendah-rendahnya, bank menaruh dana ke tenor-tenor panjang hingga 10 tahun dan di atas 10 tahun dengan sensivitas harga yang sangat tinggi.

"Kalau suku bunga naik, obligasi turun, kalau suku bunga turun, obligasi naik. Jadi mereka menempatkan DPK ke obligasi yang tenornya jangka menengah dan panjang di saat suku bunga sedang rendah-rendahnya. Jadi ini sudah tidak ada pilihan lain selain normalisasi kebijakan Bank Sentralnya AS (The Fed) menaikkan suku bunganya lagi (hingga lebih dari 400 bps/basis poin) yang dilakukan sepanjang 2022," ucap Diendy.

Kenaikan suku bunga kemudian menekan harga obligasi yang dikeluarkan. Pada saat yang bersamaan, karena Bank Sentral memperketat likuiditas di pasar, otomatis masyarakat yang sebelumnya sudah mempunyai saving akhirnya mulai menarik saving untuk ekspansi bisnis, konsumsi, dan lain sebagainya. Ketika DPK mulai ditarik kembali oleh nasabah, ujar dia, bank mau tidak mau melepas kepemilikan surat berharga tersebut dalam kondisi rugi.

"Jadi, tidak ada kegagalan yang disebabkan kredit macet, bukan disebabkan adanya malpraktik seperti tahun 2008. Ini simply karena ketidakmampuan bank kelola DPK dengan baik, jadi kita menganggap tidak akan ada efek domino seperti 2008," ungkapnya. (Z-6)

Baca Juga

Ist

KEK Bisa Menjadi Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru

👤Media Indonesia 🕔Jumat 02 Juni 2023, 10:46 WIB
Saat ini jumlah kawasan ekonomi khusus (KEK) di Indonesia sebanyak 20 KEK, terdiri dari 17 KEK yang beroperasi dan 3 KEK tahap...
ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA

Dolar Melemah karena Data Ekonomi AS

👤Annisa Ayu Artanti 🕔Jumat 02 Juni 2023, 09:22 WIB
Indeks dolar, yang mengacu greenback terhadap enam mata uang utama, turun 0,74% menjadi 103,5585 pada akhir...
MI/Mesakh Ananta Dachi

Lawan Investasi Bodong dengan Platform Digital Literasi Keuangan 

👤Mesakh Ananta Dachi 🕔Jumat 02 Juni 2023, 08:55 WIB
Tumbuh Makna adalah upaya membantu masyarakat dalam mempelajari konsep dasar, strategi, analisis, dan melihat perbedaan produk...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya