Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

DPR Minta Pemerintah Jangan Terbuai dengan Utang Pendanaan Iklim

 Insi Nantika Jelita
22/11/2022 07:00
DPR Minta Pemerintah Jangan Terbuai dengan Utang Pendanaan Iklim
Ilustrasi: Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Unit VIII Suralaya milik PLN di Banten.(MI/RAMDANI )

Anggota DPR RI Komisi VII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Diah Nurwitasari meminta pemerintah agar tidak terbuai secara terus menerus soal utang pendanaan iklim dalam rangka transisi energi.

Saat perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Selasa (15/11) lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bersama negara maju yang tergabung dalam Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) mengumumkan bantuan dana sebesar US$20 miliar atau sekitar Rp314 triliun untuk Indonesia.

Diah mengatakan bantuan atau hibah pendanaan iklim syarat dengan pemberian utang oleh negara maju terhadap negara berkembang.

"Hibah atau pendanaan itu kan bahasa indah ya, intinya kita dapat utang. Jangan berbangga dengan utang karena berarti ada (dampak) jangka panjangnya," kata Diah dalam Rapat Kerja Komisi VII dengan Kementerian ESDM, Senin (21/11).

Diketahui bahwa pendanaan US$20 miliar tersebut akan digunakan Indonesia untuk mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan program pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

Diah mendorong agar proyek yang dijalankan dari dana asing tersebut tidak terbuang percuma karena gagal diwujudkan. "Jangan kita terjebak dengan utang yang satu dengan utang lain. Jangan perencanaan utangnya jelas, tapi programnya tidak bisa kita realisasikan. Akhirnya, kita membayar sesuatu yang tidak ada manfaatnya," tegasnya.

Menurut legislator PKS itu, pemerintah Indonesia jangan gegabah menebar proyek EBT untuk mengejar ambisi transisi energi, namun secara realita penggunaan energi fosil masih sulit dipisahkan. "Transisi energi ini didorong untuk cepat, segera berpindah dari fosil ke EBT. Tapi, di banyak negara seperti Eropa masih menghidupkan PLTU batu bara. Kita juga harus cermat dengan proyek pensiun dini ini," ucap Diah.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, jika tidak ada program pensiun dini PLTU, maka secara keseluruhan pemberhentian operasi PLTU baru terealisasi di 2056.

Pihaknya saat ini masih mengkaji PLTU mana yang akan dihentikan dari pendanaan US$20 miliar itu. "Dalam proses ini memang dipilih area yang tidak memberikan beban (yang besar), lalu teknologi dan usia (PLTU) yang lanjut," terangnya.

Pendanaan iklim tersebut, lanjut Arifin, juga mengharuskan adanya proyek pengembangan energi terbarukan yang dari segi harga dijanjikan akan kompetitif.

Ia mencontohkan seperti PT PLN (Persero) yang mendapat tender penawaran harga listrik terendah untuk Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), tepatnya berada di Tanah Laut, Kalimantan Selatan.

Tawaran tender itu dari produsen listrik swasta energi terbarukan asal Prancis, Total Eren dan anak usaha PT Adaro Energy Indonesia, PT Adaro Power. Penawaran konsorsium dua perusahaan tersebut adalah sebesar 5,5 cUSD per kilo Watt hour/kWh.

"Semua sumber potensi pembangkit, baik itu geothermal, hidro, atau nuklir, perlu diidentifikasi kapan kita bisa manfaatkan," pungkas Arifin. (OL-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati
Berita Lainnya