Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Menkeu: Disrupsi Geopolitik Sebabkan Suplai Komoditas Terkendala 

Despian Nurhidayat
30/8/2022 23:29
Menkeu: Disrupsi Geopolitik Sebabkan Suplai Komoditas Terkendala 
Presiden Jokowi berjabat dengan Menkeu Sri Mulyani dalam suatu forum.(Dok. Biro Pers Setpres)

MENTERI Keuangan Sri Mulyani berpendapat bahwa disrupsi geopolitik menyebabkan suplai komoditas semakin terkendala. Sementara itu, permintaan komoditas terus meningkat. Kondisi tersebut pun berdampak pada lonjakan harga komoditas.

"Kita lihat harga natural gas yang sempat menyentuh US$9 (per MMBTU) drop ke US$5,6 (per MMBTU), kemudian naik lagi ke US$9,3 (per MMBTU) hanya dalam hitungan 2 bulan. Batu bara yang pernah menyentuh US$414 per ton di Maret, kemudian April drop US$256 per ton dan merangkak naik di US$433 per ton," paparnya, Selasa (30/8).

Baca juga: Nilai Penawaran Umum di Pasar Modal Capai Rp157,57 Triliun

"Demikian juga harga minyak, yang begitu terjadi perang di Ukraina, melonjak ke US$125 per barel, atau terkoreksi ke kisaran US$100 (per barel). Lalu, melonjak lagi pada US$126 (per barel). Saat ini, turun di US$99 (per barel)," imbuh Ani, sapaan akrabnya.

Adapun serupa juga terjadi pada harga CPO. Per Februari 2022, harga CPO mencapai puncaknya di angka US$1.779 per ton. Lalu, sempat jatuh di angka US$866 per ton. Saat ini, harg CPO merangkak kembali mendekati US$1.000 per ton.

"Ini menggambarkan risiko bergeser dari pandemi sebagai ancaman, sekarang konflik geopolitik dan inflasi yang menjadi konsekuensi kenaikan harga komoditas. Soal tingkat harga, kita bicara harga yang bisa naik 2-3 kali lipat dalam hitungan bulan," jelas Bendahara negara.

Baca juga: Banggar: Subsidi BBM tidak Tepat Sasaran, Mari Kita Akhiri

Lebih lanjut, dirinya menyinggung kondisi Bank Sentral di sejumlah negara maju, yang tengah dihadapkan pada situasi luar biasa rumit. Dalam hal ini, merespons tingkat inflasi yang tinggi dengan kebijakan moneter. Kebijakan tersebut berdampak pada ancaman pelemahan ekonomi.

"Bank Sentral di Eropa, Amerika Serikat dan Inggris dihadapkan pada buah simalakama yang sangat pelik. Mengelola atau mengontrol inflasi, yang sangat menentukan kredibilitas Bank Sentral, atau menjadi penyebab pelemahan ekonomi di negaranya masing masing. Ini akan terus berlangsung sampai 2023," katanya.(OL-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik