Headline

Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Diperlukan Kebijakan Antisipatif untuk Atasi Ancaman Krisis Pangan 

Despian Nurhidyat
13/4/2022 17:16
Diperlukan Kebijakan Antisipatif untuk Atasi Ancaman Krisis Pangan 
Petani mencabut bibit padi yang siap tanam(Antara/Hendra Nurdiyansyah)

WAKIL Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan, kebijakan antisipatif dari pemerintah perlu disiapkan untuk menghadapi ancaman krisis pangan yang semakin berada di depan mata. Dengan permasalahan konflik Rusia dan Ukraina, perubahan iklim, serta pandemi covid-19, ketahanan pangan menjadi hal yang harus dilakukan oleh Indonesia. 

"Beberapa organisasi dunia sudah memberikan penilaian tentang ancaman pangan. Kita tahu masalah pangan yang kita hadapi adalah masalah global. Tidak semata-mata terjadi di negara kita sendiri, tapi seluruh umat manusia di dunia. Untuk itu, kebijakan antisipatif perlu disiapkan untuk menghadapi beragam ancaman termasuk ketahanan pangan," ungkapnya dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Edisi ke-99, Rabu (13/4). 

Rerie, sapaan Lestari, menambahkan, FAO menyatakan konflik Rusia dan Ukraina telah mengakibatkan terjadinya kesulitan distribusi pangan khususnya gandum, di mana Ukraina dan Rusia merupakan pemasok gandum terbesar dunia. 

Oleh sebab itu, menurutnya pemerintah perlu bergerak dan mengambil langkah untuk menghadapi permasalahan global yang terjadi saat ini demi menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan dalam negeri. 

Di tempat yang sama, Dosen Senior Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) Bayu Krisnamurti menuturkan, kenaikan harga komoditas pangan sudah terjadi di dunia, seperti gandum yang naik 93,6%, sapi naik 72%, gula 51,6%, kedelai 95,6%, dan yang paling spektakuler ialah CPO yang naik 187% di seluruh dunia. 

"Secara rangkuman, penyebab kenaikan ini adalah recovery pandemi yang tidak seimbang, jadi recover lebih cepat daripada suplai dan kemudian dihadapkan pada kenaikan harga angkutan, keterbatasan tenaga kerja, kenaikan harga energi, dan sebagainya. Suplai merespon lebih lambat atas hal ini," ucap pria juga yang merupakan Wakil Menteri Pertanian periode 2009-2011 dan Wakil Menteri Perdagangan periode 2011-2014 ini. 

Lebih lanjut, Bayu menjabarkan, FAO Real Food Price Index saat ini juga telah mencapai angka tertinggi dalam 40 tahun. Terakhir kali dunia mengalami kenaikan seperti ini dikatakan sekitar 1973-1975 yang disebabkan oleh krisis minyak dan perang Arab dan Israel. 

Dari domestik, dia menilai, Indonesia memang memiliki stok pangan. Namun, dari sisi kecukupan, menurutnya stok ini hanya dapat bertahan satu bulan atau dua bulan saja. 

"Jadi ini perlu diperhatikan, meskipun stoknya ada, tapi ruangnya hanya dua bulan, itu menurut saya tidak aman," tuturnya. 

Beberapa kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah, lanjut Bayu, di antaranya ialah untuk kedelai, bisa dilakukan bantuan kepada masyarakat atau yang membutuhkan, untuk cabai diharapkan panen April dan Mei 2022 nanti akan memperbaiki keadaan, untuk gula dibutuhkan daya tahan sampai musim giling dan diharapkan pemerintah segera mempercepat impor gula untuk masuk ke Indonesia. 

Baca juga : Pemerintah akan Sesuaikan Harga dan Kuota BBM Pertalite dan Solar

Hal yang sama juga berlaku untuk daging kerbau, di mana harus dipercepat impor daging kerbau dari India yg relatif murah dan lebih banyak. 

"Intinya solusi juga dapat dilakukan dengan dua cara, pertama membantu masyarakat berpenghasilan rendah dan subsidi komoditas pada beberapa taget konsumen seperti minyak goreng curah dan lainnya," ujar Bayu. 

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa menegaskan, indeks ketahanan pangan Indonesia terus memburuk selama tiga tahun terakhir. Dari awalnya mencapai posisi 62 dari 113 negara pada 2019, turun ke posisi 65 pada 2020 dan terakhir di posisi 69 pada 2021. 

Tak berhenti di situ, dari segi isu natural resources dan resilience, Indonesia berada di urutan terbawah atau mencapai posisi 113. 

"Produksi padi kita selama 20 tahun terakhir juga mengkhawatirkan. Di mana per tahunnya kita hanya meningkat 0,67%, padahal pertumbuhan penduduk naiknya 1,45%. Bahkan pada periode saat ini, produksi padi kita menurun 0,35%," ucap Andreas. 

Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menilai, antisipasi krisis pangan perlu terus dilakukan karena geopolitik, perubahan iklim dan pandemi akan menyebabkan kenaikan harga pangan secara spesifik di Indonesia. 

Dia mencontohkan, antisipasi ini misalnya dari komoditas beras harus diberikan insentif petani untuk meningkatkan kualitas beras premium domestik. Untuk jagung, perlu dilakukan peningkatan produktivitas di hulu dan integrasi dengan industri pakan ternak. 

"Untuk kedelai, kita harus memproduksi kedelai kualitas tinggi dan memberikan kemudahan prosedur impor kedelai. Minyak goreng, dilakukan subsidi minyak curah dan aplikasikan penggunaan CPO untuk pangan agar berimbang dengan energi," kata Bustanul Arifin. 

"Untuk gula, harus ada kepastian perencanaan impor dan distribusi dan penyehatan industri berbasis tebu. Terkait daging sapi, harus dilakukan pemanfaatan daging sapi domestik, sumber sapi dan daging negara lain. Harus dilakukan juga perubahan teknologi pertanian, ekosistem inovasi dan intergrasi strategi berbasis riset and development," pungkasnya. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya