HARGA tahu dan tempe di Indonesia akan melambung tinggi dalam beberapa bulan ke depan karena dipicu kenaikan harga kedelai di Amerika Serikat. Bila hal itu benar-benar terjadi, harga tempe bisa mencapai di atas Rp50.000 per papan.
"Ini harus menjadi momentum bagi petani Indonesia untuk menggalakkan budidaya kedelai. Risiko sebagai negara pengimpor kedelai, Indonesia akan terus bergantung dengan negara pengekspor. Apabila terjadi perlambatan ekonomi di negara tersebut yang disebabkan berbagai hal, secara otomatis akan berdampak pula pada negara pengimpor," ungkap Anggota Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ayep Zaki dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (12/2/2022).
Ayep Zaki mengungkapkan hal tersebut menanggapi pernyataan Kementerian Perdagangan melalui Ditjen Perdagangan Dalam Negeri dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/2), yang menyatakan dalam beberapa bulan ke depan, harga tahu dan tempe diprediksi akan melambung tinggi. Kenaikan harga ini dipicu naiknya harga kedelai di Amerika.
Sebagai pelaku pertanian yang secara terus menerus menggeluti dunia pertanian sejak 2005 sampai sekarang, Ayep menegaskan urusan pangan sebaiknya secara maksimal Indonesia harus mampu memproduksi sendiri.
"Impor kedelai yang mencapai 80% lebih untuk kebutuhan nasional setiap tahunnya, membuat Indonesia menjadi sangat tergantung dengan negara pengekspor. Itu sebabnya budidaya kedelai harus mendapat dukungan dari semua pihak, mulai dari off tacker (penjamin), pemerintah, dunia perbankan hingga petani," urai Ayep lagi.
Berdasarkan data dan pengalaman yang sudah dilakukannya, ia menuturkan sudah melakukan uji coba langsung di lahan setelah panen padi, baik di musim tanam ke dua atau ke tiga. Sistem tanpa olah tanah (TOT) budidaya kedelai bisa menghasilkan 1,7-1,8 ton per hektare. Dengan asumsi biaya per hektarenya berkisar Rp8 juta.
"Ini sudah saya lakukan di beberapa tempat. Jika rata-rata per hektare mencapai 1,8 ton dan harga per kilonya Rp10 ribu, hasilnya bisa mencapai 18 juta per hektare," urainya.
Hasil produksi petani tersebut masih akan dipilah untuk memisahkan kedelai berukuran besar, sedang, dan kecil. Pemilahan tersebut bisa memakan hingga 15% hasil produksi. Tujuan pemilahan tersebut karena hanya kedelai berukuran besar saja yang bisa diterima pasar.
Pemilik Rumah Tempe Azaki yang belum lama lalu melakukan ekspor ke Jepang ini juga menuturkan, 2022 ini tengah menjalin kerja sama dengan Direktorat Akabi (Aneka Kacang dan Umbi) Kementerian Pertanian untuk program budidaya kedelai mandiri dengan sistem TOT seluas 25 ribu hektare di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
"Insya Allah April nanti kami akan melakukan penanaman perdana. Di bawah pengawasan saya dan tim, budidaya kedelai mandiri ini ditargetkan mencapai 1,8 ton per hektarenya," terang Ayep.
Untuk keberhasilan budidaya kedelai, tambah Ayep Zaki, instrumen pemerintah sebagai pemegang regulasi sesungguhnya sudah mendukung. Hanya saja di instrumen perbankan yang kadang kala masih banyak pertimbangan.
"Jika perbankan diminta untuk memilih pembiayaan budidaya kedelai mandiri dengan membiayai usaha kecil menengah (UKM) di bidang lainnya, perbankan tentu akan lebih memilih UKM tersebut. Nah, ini memang perlu sinergitas antara bank selaku regulator pembiayaan. Karena mau tidak mau bank memang harus terlibat dalam hal ini," papar Ayep lagi.
Indonesia melalui Balai Benih Kementerian Pertanian, lanjutnya, sudah bisa membuat varietas unggul baru (VUB) bibit kedelai sampai 3,5 ton per hektare berupa biosoy 2 dengan teknologi pupuk batubara. Tapi kita harus memulai dengan sistem TOT karena sistem ini cara yang paling efektif dalam budidaya kedelai," tutup Ayep. (RO/O-2)