Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Ini Hasil Pertemuan Presidensi G20 Indonesia di Bali

Despian Nurhidayat
10/12/2021 18:47
Ini Hasil Pertemuan Presidensi G20 Indonesia di Bali
Agenda awal Presidensi G20 Indonesia bertajuk Finance and Central Bank Deputies Meetings (FCBD) secara resmi berakhir Jumat (10/12).(ANTARA/Hafidz Mubarak A )

PELAKSANAAN agenda awal Presidensi G20 Indonesia bertajuk Finance and Central Bank Deputies Meetings (FCBD) secara resmi berakhir hari ini, Jumat (10/12).

Dalam pertemuan tersebut, terdapat enam agenda dalam jalur keuangan yang diperbincangkan. Yakni, koordinasi exit strategy untuk mendukung pemulihan global, upaya penanganan dampak pandemi (scaring effects) dalam perekonomian guna mendukung pertumbuhan yang lebih kuat di masa depan, penguatan sistem pembayaran di era digital, pengembangan pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance), peningkatan sistem keuangan yang inklusif, dan agenda perpajakan internasional.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo mengatakan bahwa terkait dengan koordinasi exit strategy untuk mendukung pemulihan global, IMF, OECD dan lembaga keuangan internasional lainnya menyatakan proyeksi (outlook) ekonomi global yang relatif sudah pulih meskipun melambat.

"Pemulihan terus berlangsung tapi ada risiko yang perlu dihadapi, di antaranya kesehatan, inflasi ke depan, kemudian risiko masalah supply side shock di level produksi dan perubahan iklim. Itu risiko yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi 2021 dan 2022," ungkapnya dalam Taklimat Media Hasil G20 1st Finance and Central Deputies Meetings (FCBD) di Nusa Dua, Bali, Jumat (10/12).

Namun, Dody menambahkan bahwa lembaga keuangan internasional melihat normalisasi kebijakan telah menjadi isu, di mana normalisasi kebijakan tersebut akan dilakukan lebih awal dari rencana semula. Pasalnya, jika hal tersebit diberlakukan tentu akan mempengaruhi outlook pertumbuhan ekonomi di semua negara.

Menurutnya, dalam pembahasan di pertemuan kali ini, normalisasi dinyatakan harus berjalan dengan lancar (smooth) dan gradual untuk menghindari prematur normalisasi. Pasalnya, kondisi negara untuk pulih dikatakan dipengaruhi oleh beberapa faktor.

"Terlalu lama normalisasi dilakukan akan mengganggu instabilitas sistem keuangan di jangka menengah panjang. Maka dari itu, exit strategy penting untuk direncanakan dengan matang dan dilakukan secara bertahap. Selain itu, harus juga dikomunikasikan secara baik ke pasar karena ini akan berpengaruh ke masing-masing prioritas," ujar Dody.

Terkait upaya penanganan dampak pandemi (scaring effects) dalam perekonomian guna mendukung pertumbuhan yang lebih kuat di masa depan, Dody menambahkan bahwa hal ini harus dilihat secara jangka menengah panjang.

"Tanpa adanya kebijakan struktural, tentu akan menyulitkan pemulihan ekonomi karena penutupan pabrik dan banyak hal lainnya di tengah pandemi. Ditambah dengan permintaan yang sudah pulih tapi produksi terbatas. Hal ini dipandang jangan dilihat sektor ekonomi saja, tapi dari sisi tenaga kerja juga terganggu pada saat kebutuhan skill yang terganggu akibat new normal terkait penggunaan teknologi. Maka dari itu, pemanfaatan digitalisasi menjadi kunci," tuturnya.

Lebih lanjut, Dody menyatakan bahwa pembahasan dalam pertemuan kali ini juga membahas tentang penguatan keuangan dan tata kelola dari IMF.

Sebagai pusat dari global finance safety net, IMF harus diperkuat permodalan dan tata kelolanya. Salah satu fokus pembahasan ialah terkait dengan kuota atau iuran dari tiap negara. Menurutnya, iuran dari tiap negara masih belum sesuai dengan kondisi perekonomian atau pendapatan dari negara yang bersangkutan. Seperti Tiongkok yang dikatakan memiliki kuota yang tidak sesuai dengan kapasitas perekonomiannya.

"Pada akhirnya kuota itu harus disesuaikan. Pembahasan kenaikan kuota untuk beberapa negara ini jadi sulit menemui titik temunya. Keinginan banyak negara berkembang kuota harus disesuaikan. Di samping itu akan disesuaikan juga voting power dari beberapa negara nantinya," ujar Dody.

Hal lainnya, lanjut dia, ialah permasalahan di mana negara-negara yang terdampak berat pandemi mendapat bantuan dari negara member IMF. Dengan alokasi hak penarikan khusus atau special drawing rights (SDR) yang diberikan kepada seluruh negara tentu telah menjadi sumber bantuan. Sumber bantuan ini khususnya untuk negara miskin guna memenuhi pembayaran utang luar negeri mereka.

Selain itu, menyoal penguatan sistem pembayaran di era digital, Dody menekankan bahwa pembahasan terkait mata uang digital yang dikeluarkan bank sentral menjadi topik prioritas. Di mana nantinya, CBDC (Central Bank Digital Currency) diharapkan akan berimbas kepada efektivitas kebijakan moneter sisitem keuangan.

"Terkait financial sector regulation dan financial inclusion. Ini dilihat bagaimana sektor keuangan bisa keluar dari kebijakan akomodatif dalam kebijakan yqng tepat. Kita tahu stabilitas sistem keuangan terjaga karena relaksasi kebijakan. Kapan ini akan dilepas? Karena akan membentuk sistem keuangan yang kuat. Maka dari itu, diharapkan jangan terjadi prematur normalisasi. Semua negara melihat poin ini perlu dibahas di G20 karena permasalahn sektor keuangan di masa pandemi," ucapnya.

Isu lainnya yang menjadi pembahasan ialah risiko digital finance. Menurut Dody, semua anggota G20 sepakat untuk membahsa mengenai risiko cyber fraud dan juga terkait crypto currency.

Baca juga: IMF akan Berikan Indonesia SDR, Fasilitas Apakah Itu?

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Wempi Saputra menambahkan, terkait pengembangan pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance), pembahasan yang dilakukan ialah strategi menuju ekonomi hijau.

Dalam hal ini, Indonesia dikatakan telah mengusulkan adanya agenda dan program yang diperlukan oleh negara berkembang dan miskin agar mendapatkan pendanaan global untuk melakukan transisi ekonomi hijau.

"Akan ada showcase yang lebih nyata berbentuk proyek namanya energy transition mechanism. Kita akan coba tampilkan dan di Presidensi 2022 ini kita bisa capai hasil nyata untuk keuangan berkelanjutan," kata Wempi.

Terkait peningkatan sistem keuangan yang inklusif, dalam pertemuan ini dikatakan bahwa Indonesia mengusulkan adanya pengembangan kapasitas infrastruktur digital untuk daerah agar nantinya akses kepada perbankan menjadi lebih layak dan mampu meningkatkan ekonomi daerah.

"Kita usulkan tools infrastruktur 2.0. Ini data infrastruktur yang ada untuk referensi negara maju dan investor agar dapat melihat proyek ke depannya," tuturnya.

Terkait perpajakan internasional, Wempi menegaskan bahwa pembahasan terkait hal ini ialah mengimplementasikan Pilar 1 dan Pilar 2 untuk menciptakan arsitektur perpajakan yang lebih adil dan stabil.

Salah satu hal yang menjadi isu ialah pengenaan pajak untuk perusahaan multinasional, pajak gender, pajak pembangunan, pajak karbon dan lainnya. Inti dari pembahasan mengenai pajak internasional ini berkaitan dengan pajak pascapandemi covid-19. (A-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya