Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Backlog Perumahan di Jakarta Tinggi, Ini Empat Faktor Penyebabnya 

Ihfa Firdausya
23/11/2021 20:09
Backlog Perumahan di Jakarta Tinggi, Ini Empat Faktor Penyebabnya 
Pembangunan Rusunawa di Jakarta(Antara/Fakhri Hermansyah)

KEKURANGAN suplai rumah atau backlog menjadi salah satu permasalahan di Jakarta. Angka backlog perumahan di Jakarta disebut mencapai 1,2 juta unit. 

Jakarta Property Institute (JPI) mencatat ada empat aspek yang dapat mempengaruhi backlog, yakni suplai perumahan, perizinan dan standar perumahan, segmentasi, serta keuangan. 

Perihal suplai perumahan, permasalahan yang dihadapi Jakarta adalah pengembangan wilayah yang tidak merata. Dalam hal ini, kepadatan penduduk di Jakarta hanya terkonsentrasi di daerah tertentu. 

"Sebetulnya Jakarta tidak padat. Jakarta hanya padat di daerah tertentu. Dia tidak merata pengembangannya," kata Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute Wendy Haryanto dalam acara media visit virtual dengan Media Indonesia, Selasa (23/11). 

Selanjutnya soal perizinan, Wendy menyebut bahwa birokrasi yang lama akan menambah biaya untuk developer maupun investor. "Ujung-ujungnya ke end product-nya akan mahal karena cost of money-nya kepanjangan. Nanti yang suffer siapa? Masyarakat. Nanti rumah-rumahnya unaffordable," katanya. 

"Ini salah satu yang membuat kenapa harga barang yang di ujung itu selalu gak bisa turun, tambah lama tambah mahal," imbuhnya. 

Seperti diberitakan, Gubernur DKI Jakarta mengklaim bahwa perizinan gedung dipangkas menjadi 57 hari. Namun, kata Wendy, hal tersebut belum terealisasi. 

"Kalau bisa jadi 6 bulan saja, gak usah bicara 57 hari, itu sebenarnya sudah banyak membantu," katanya. 

Baca juga : Indonesia Ajak Swedia Berinvestasi dan Berbagi Teknologi Kendaraan Listrik

Sementara segmentasi dimaksudkan untuk betul-betul memenuhi terhadap siapa yang membutuhkan lahan/rumah di ibu kota. Faktanya, para pekerja di Jakarta saat ini banyak yang tidak terjangkau untuk memiliki rumah di Jakarta dan memilih tinggal di pinggiran ibu kota. 

"Yang semestinya kita lihat itu angkatan kerja kita, yang masih semangat kerja, jemjang kariernya masih panjang. Jadi ruginya adalah pemerintah atau swasta di Jakarta bayar gaji pekerja ini tapi orang-orang ini spending pajaknya di luar Jakarta," katanya. 

"Jadi kalau mau dikembalikan ekonominya lebih cepat, orang-orang ini, workforce kita, jangan tersingkir ke pinggir Jakarta, mereka harus dikembalikan. Makanya segmentasi itu to have housing di tengah Kota Jakarta yang mereka bisa afford," jelasnya. 

Terakhir soal keuangan atau financing juga berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam membeli rumah. Wendy menyebut bahwa rumah murah justru kenaikannya paling tinggi dalam delapan tahun terakhir dibandingkan rumah menengah dan rumah mahal. 

"Itu kenaikannya 62%, rumah menengah dan rumah mahal naiknya belasan persen. Jadi makin sulit, begitu udah gak mampu beli bahkan untuk rumah murah, tidak akan pernah tercapai," ungkapnya. 

Dalam hal ini, pemerintah diminta mengkaji kembali program-program perumahan yang ada. Wendy mencontohkan program DP 0% secara konsep baik, tetapi masih ada masalah eksekusi dan lokasi. 

"Yang dijalankan sekarang DP 0% itu menggunakan lahan-lahan pemprov dan lokasinya tidak menggiurkan. Bank-bank khususnya swasta banyak yang tidak terlalu mau endorsing karena masyarakat tidak terlalu suka (lokasinya)," jelasnya. 

Karena itu, JPI menyebut ketidakterjangkauan masyarakat menjadi salah satu faktor utama backlog perumahan. "Jadi ngebangunnya gampang, tapi begitu jadi, (masyarakat) yang bisa afford sedikit," pungkasnya. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya