Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
NEGARA-negara berpenghasilan rendah mengalami kenaikan beban utang hingga 12% menjadi US$860 miliar pada 2020. Naiknya beban utang tersebut akibat dampak pandemi Covid-19 yang tak hanya menimbulkan persoalan kesehatan, tapi juga sosial dan ekonomi.
Kondisi negara-negara berpenghasilan rendah sejatinya berada dalam posisi rentan, bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda. Pertumbuhan ekonomi yang lambat diikuti dengan peningkatan utang dan risiko eksternal yang meningkat.
Bahkan saham utang luar negeri negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah naik 5,3% menjadi US$8,7 triliun di 2020. Berdasarkan laporan International Debt Statistics 2022 terbaru, pendekatan menyeluruh untuk mengelola utang diperlukan guna membantu negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dalam mengurangi risiko serta mencapai tingkat utang yang berkelanjutan.
Demikian disampaikan Presiden Bank Dunia David Malpass yang dikutip dari siaran pers, Selasa (12/10).
“Kami membutuhkan pendekatan komprehensif untuk masalah utang, termasuk pengurangan utang, restrukturisasi yang lebih cepat, dan peningkatan transparansi. Tingkat utang yang berkelanjutan sangat penting untuk pemulihan ekonomi dan pengurangan kemiskinan,” tuturnya.
Kemerosotan indikator utang meluas dan berdampak pada negara-negara di semua kawasan. Semua negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalami peningkatan utang luar negeri yang melampaui Pendapatan Nasional Bruto (PNB/Gross National Income/GNI) dan pertumbuhan ekspor.
Rasio utang luar negeri terhadap PNB negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah—tak termasuk Tiongkok—naik dari 37% di 2019 menjadi 42% di 2020. Sedangkan rasio utang terhadap ekspor negara-negara tersebut meningkat dari 126% di 2019 menjadi 154% pada 2020.
Menghadapi lonjakan utang tersebut, Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) meluncurkan inisiatif penangguhan layanan utang (Debt Service Suspension Initiative/DSSI) pada April 2020. Inisiatif itu bertujuan untuk memberikan dukungan likuiditas sementara bagi negara-negara berpenghasilan rendah.
Malpass bilang, negara-negara yang tergabung dalam G20 sepakat untuk memperpanjang periode penangguhan hingga akhir 2021. Pada November 2020, G20 menyepakati Kerangka Kerja Umum untuk Perlakuan Utang di luar DSSI. Itu merupakan inisiatif untuk merestrukturisasi situasi utang yang tidak berkelanjutan dan kesenjangan pembiayaan yang berlarut.
Secara keseluruhan di 2020, arus masuk bersih dari kreditur multilateral ke negara-negara berpenghasulan rendah dan menengah naik menjadi US$117 miliar, menjadi yang tertinggi dalam satu dekade terakhir. Demikian halnya dengan arus masuk utang bersih dari utang publik eksternal yang naik 25% menjadu US$71 miliar.
Kreditur multilateral seperti IMF menyediakan US$42 miliar arus masuk bersih, sementara kreditor bilateral menyumbang tambahan US$10 miliar.
Wakil Presiden dan Kepala Ekonom Bank Dunia Carmen Reinhart menuturkan, peningkatan utang yang terjadi di seluruh negara merupakan dampak nyata dampak covid dan menjadi tantangan berat.
“Pembuat kebijakan perlu mempersiapkan kemungkinan tekanan utang ketika kondisi pasar keuangan menjadi kurang ramah, terutama di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang,” ujarnya.
Menurutnya, transparansi utang yang lebih menjadi krusial dalam mengatasi risiko yang timbul karena adanya peningkatan di banyak negara berkembang. Guna memfasilitasi transparansi itu, International Debt Statistic 2022 diperluas untuk menyediakan data utang luar negeri yang lebih rinci dan terpilah dibanding sebelunmya.
Reinhart bilang, sekarang data memberikan rincian stok utang luar negeri negara peminjam untuk menunjukkan jumlah yang terutang kepada setiap kreditur resmi dan swasta, komposisi mata uang utang, dan persyaratan pinjaman yang diperpanjang.
Untuk negara-negara yang memenuhi syarat DSSI, kumpulan data diperluas untuk mencakup layanan utang yang ditangguhkan pada tahun 2020 oleh masing-masing kreditur bilateral dan proyeksi pembayaran layanan utang bulanan yang terutang kepada mereka hingga tahun 2021.
Bank Dunia juga akan segera menerbitkan Transparansi Utang baru dalam laporan Ekonomi Berkembang yang mempertimbangkan tantangan transparansi utang di negara-negara berpenghasilan rendah dan memaparkan daftar rekomendasi terperinci untuk mengatasinya. (Mir/OL-09)
UTANG pemerintah makin mencemaskan. Pada awal 2025 ini, total utang pemerintah pusat membengkak menjadi Rp8.909,14 triliun. Angka itu setara dengan 40,2% produk domestik bruto (PDB).
Utang negara adalah alat yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan dan merangsang perekonomian, tetapi juga membawa risiko jika dikelola dengan buruk.
PADA 2024, utang publik global diperkirakan mencapai US$102 triliun. Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok berkontribusi besar terhadap meningkatnya jumlah utang. Indonesia?
Kemenkeu mencatat posisi utang pemerintah per Agustus 2024 mencapai Rp8.461,93 triliun. Rasio utang pemerintah pada periode tersebut sebesar 38,49%, masih di bawah batas aman 60%.
Masyarakat sipil menyampaikan keprihatinan terhadap inisiatif AZEC. Menurut mereka perjanjian itu solusi palsu memperpanjang penggunaan energi fosil dan menambah utang negara.
PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo disebut meninggalkan warisan utang dan biaya utang yang cukup besar bagi pemerintahan berikutnya.
AWAL April 2025, Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan pada tahun 2024 lebih dari 60,3% penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Di balik status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, Bank Dunia mengungkapkan fakta mencengangkan: 60,3% dari total populasi Indonesia hidup dalam garis kemiskinan
Indonesia diproyeksikan hanya memiliki pertumbuan ekonomi rata-rata 4,8% hingga 2027. Adapun, rinciannya adalah 4,7% pada 2025, 4,8% pada 2026, dan 5% pada 2027.
Reformasi struktural untuk mempercepat pertumbuhan produktivitas, di samping kehati-hatian fiskal dan moneter, merupakan kunci untuk memajukan agenda pertumbuhan pemerintah.
Pengurusan izin usaha di Tanah Air masih membutuhkan waktu hingga 65 hari. Berbeda jauh dengan negara-negara maju dalam memproses izin bisnis.
Bank Dunia (World Bank) mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tercatat sebesar 5,03% pada 2024 mencerminkan pertumbuhan yang stabil.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved