Defisit 3% di 2023 Dinilai Sulit Dicapai 

M. Illham ramadhan Avisena
06/10/2021 19:05
Defisit 3% di 2023 Dinilai Sulit Dicapai 
Suasana gedung perkantoran di Jakarta(Antara/Galih Pradipta)

DIREKTUR Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai target pemerintah mengejar defisit kembali di bawah 3% pada 2023 sukar dicapai. Bahkan, dia memperkirakan defisit anggaran dua tahun mendatang masih berada di atas ambang batas, atau melebihi 3%. 

“Kami melihat punya potensi target defisit tersebut bisa melebar di atas 3%” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk Menakar Untung Rugi RUU HPP, Rabu (6/10). 

Tauhid menyatakan, keraguan gagalnya defisit kembali di bawah 3% juga dialami pemerintah. Hal itu menurutnya terkonfirmasi dari upaya pengambil kebijakan mengutak-atik tarif pajak guna menambah penerimaan negara melalui Rancangan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). 

Pasalnya, kondisi perekonomian saat ini tergolong masih lemah. Penerimaan negara dinilai masih membutuhkan tarikan lebih agar bisa mencapai target penormalan defisit. Belum lagi ketidakpastian pandemi covid-19 yang diprediksi masih membayangi dan mempengaruhi laju pemulihan ekonomi. 

Karenanya, menurut Tauhid, jalan paling cepat yang dapat ditempuh oleh pengambil kebijakan ialah mengubah atau menambah tarif-tarif pajak. 

“Karena memang situasi pemulihan di penerimaan negara itu tidak mudah dilakukan dalam kondisi pemulihan ekonomi. Jadi masih sangat tergantung bagaimana sektor-sektor di penerimaan negara, khususnya perpajakan seperti manfuaktur kemudian sektor perdagangan itu cepat pulih baru bisa tumbuh,” jelasnya. 

Penyusutan defisit juga dinilai akan terhambat dari bengkaknya belanja negara seperti yang telah terjadi sejak 2020. Pemerintah, mau tak mau harus meningkatkan belanja guna menghambat pelemahan ekonomi. 

Baca juga : Pasokan Minyak Dunia Turun, Minyak Mentah Indonesia pada September Naik Jadi US$72,20/barel 

Guna mencapai target defisit di bawah 3% pada 2023, imbuh Tauhid, ialah dengan mengurangi belanja negara secara drastis. Namun hal itu menurutnya juga penuh dilema untuk dilakukan oleh pemerintah. Karenanya, menurut dia RUU HPP menjadi cepat dan mudah yang bisa dieksekusi oleh pengambil kebijakan. 

“Ini ternyata didahulukan dan dimulai tahun 2022, karena target defisit pada thaun 2023 itu kurang lebih kita membutuhkan Rp600 triliun sampai Rp700 triliun. Tanpa ada kenaikan sumber peneriman negara khususnya pajak, itu sangat sulit target defisit tersebut dicapai,” tutur Tauhid. 

Diketahui pemerintah dan Komisi XI DPR telah menyepakati RUU HPP untuk dibawa ke dalam Rapat Paripurna. Dalam RUU HPP itu pemerintah berupaya memperbaiki sistem perpajakan dan meningkatkan penerimaan negara. 

Beberapa poin yang ada di dalam RUU HPP itu ialah kembali bergulirnya program pengampunan pajak (Tax Amnesty), penambahan layer wajib pajak terkait besaran tarif PPh pribadi, naiknya tarif PPN menjadi 11%, dikecualikannya sembako, pendidikan, kesehatan, dan sosial dari obyek pajak, pembatalan penurunan tarif PPh badan, dan pajak karbon. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu menyampaikan, RUU HPP merupakan bagian tak terpisahkan dari reformasi bidang perpajakan yang sedang diupayakan pemerintah. Terlebih di masa pandemi ini pemerintah perlu melakukan langkah-langkah luar biasa yang mengakibatkan pelebaran defisit anggaran. Melalui RUU HPP diharapkan defisit dapat ditambal. 

“Pemerintah berkomitmen untuk kembali mewujudkan APBN yang sehat dengan defisit di bawah 3% pada tahun 2023. Untuk mewujudkan hal tersebut, disamping kita akan terus melakukan perbaikan dari sisi belanja dengan spending better, Pemerintah juga harus mengoptimalkan penerimaan negara, sehingga tujuan dan target pembangunan tidak dikorbankan,” tuturnya. 

“Pemerintah meyakini bahwa RUU ini akan dapat mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, dengan disepakatinya beberapa hal antara lain pengenaan pajak atas natura, pengaturan mengenai tindak lanjut atas putusan Mutual Agreement Procedure (MAP), pengaturan kembali besaran sanksi administratif dalam proses keberatan dan banding, serta penyempurnaan beberapa ketentuan di bidang penegakan hukum perpajakan,” pungkas Sri Mulyani. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya