Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

RAPBN 2022 Gambarkan Optimisme Pemerintah

M Ilham Ramadhan Avisena
17/8/2021 12:33
RAPBN 2022 Gambarkan Optimisme Pemerintah
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi(MI/Duta)

MANAJER Riset dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menuturkan rancangan APBN 2022 yang disampaikan pemerintah dalam Nota Keuangan menggambarkan optimisme pengambil kebijakan di 2022. Itu terlihat dari proyeksi ekonomi yang membaik sejalan dengan perbaikan kondisi pandemi covid-19.

"Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di tahun 2022 dikisaran 5,0% hingga 5,5%. Tentu bukan mengada-ngada bahkan IMF (International Monetary Fund) lebih optimis bahwa ekonomi kita diproyeksikan bakal tumbuh 5,9% di tahun 2022," ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima, Selasa (17/8).

Fajry berharap perbaikan proyeksi ekonomi tersebut diikuti dengan kinerja penerimaan perpajakan. Namun dia juga menyadari ketidakpastian akibat covid-19 masih akan mewarnai dinamika ekonomi di 2022.

Baca juga: Presiden: Belanja Negara di RAPBN 2022 Capai Rp2.708,7 Triliun

Dia menambahkan, defisit anggaran dalam RAPBN 2022 juga ditetapkan lebih rendah 9,7% dari proyeksi defisit 2021 menjadi 4,85% di 2022, atau setara Rp868 triliun. Susutnya proyeksi defisit itu didasari pada perkiraan penerimaan perpajakan yang naik 9,5% sementara belanja negara hanya naik 0,4%.

"Dengan demikian, kami melihat bahwa pemerintah telah melakukan konsolidasi fiskal pada RAPBN 2022. Pemerintah mengambil langkah yang lebih berhati-hati dalam menyusun RAPBN 2022 terutama komitmen untuk mengurangi tingkat utang negara yang terlihat dari pembiayaan negara yang turun hingga -9,7%," kata Fajry.

Outlook penerimaan perpajakan yang tumbuh 9,5% itu berasal dari perkiraan penerimaan pajak yang naik 10,5% dan cukai tumbuh 4,6%. Penerimaan PPN diproyeksikan naik 10,1% sedangkan penerimaan PPh diproyeksikan naik 10,7%.

"Kami melihat target penerimaan pajak masih terlalu optimis melihat aktivitas dunia usaha yang belum sepenuhnya pulih dan juga kebijakan penurunan tarif PPh badan. Sedangkan untuk target penerimaan cukai, secara historis masih memungkinkan untuk dicapai," imbuh Fajry.

"Namun, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi di mana kenaikan tarif yang tak sejalan lagi dengan peningkatan penerimaan cukai. Peningkatan tarif dalam beberapa tahun terakhir mengurangi efektivitas cukai dalam menghasilkan penerimaan," sambungnya.

Fajry menambahkan, optimalisasi penerimaan negara tanpa mengganggu pemulihan ekonomi akan menjadi tantangan bagi pemerintah. Namun dari sisi perpajakan upaya pemerintah dinilai telah sejalan dengan agenda pemulihan.

"Hanya, meski dalam konteks perluasan basis pajak, optimalisasi perlu dilakukan pada sektor yang benar-benar sudah pulih. Optimalisasi perlu dilakukan ke Wajib Pajak yang tidak atau paling sedikit terdampak pandemi. Selain itu, jangan sampai optimalisasi mengorbankan tingkat kepatuhan wajib pajak selama ini telah patuh serta jangan sampai mengorbankan tingkat kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas," terang Fajry.

Karenanya, menurut dia, reformasi perpajakan seperti revisi UU Perpajakan yang sedang berlangsung memang perlu dilakukan. CITA, sebut Fajry, juga mengapresiasi reformasi perpajakan “menuju sistem sistem yang sehat dan adil”, baik reformasi kebijakan dan reformasi administrasi.

Menurutnya, reformasi tersebut tak hanya memberikan peningkatan enerimaan namun juga berkelanjutan. Tak hanya mendorong penerimaan namun juga sejalan dengan upaya mendorong ekonomi.

"Dalam reformasi kebijakan, Insentif perpajakan memang sudah seharusnya dievaluasi. Selama ini pemberian insentif telah menggerus penerimaan pajak. Jika diberikan secara tidak tepat maka pemerintah perlu merevisi insentif tersebut. Begitupula dengan memperbaiki progresivitas pajak. Ini dibutuhkan mengingat basis pajak yang kuat membutuhkan pendapatan perkapita yang semakin merata tak hanya tinggi," jelas Fajry.

Dia juga menilai penting untuk mengurangi distorsi. Distorsi tersebut nyatanya membuat produk asal Indonesia menjadi kurang bersaing terhadap produk luar. Distorsi itu pula akhirnya merugikan konsumen Indonesia karena beban pajak di tingkat konsumen lebih tinggi dibandingkan tarif normal.

Selain itu, reformasi administrasi menjadi tak terelakkan dan harus dilakukan secara berkelanjutan. Administrasi pajak yang lebih sederhana dan efisien serta menjamin kepastian hukum akan mampu mendorong penerimaan melalui peningkatan kepatuhan.

"Namun di sisi lain, reformasi tersebut juga akan mendorong iklim usaha. Alhasil, penerimaan meningkat dan ekonomi juga terdorong," pungkas Fajry.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya