Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Hati-Hati, Mendorong PLTS Atap Berlebihan malah Ancam Sistem Kelistrikan

Mediaindonesia.com
14/8/2021 13:05
Hati-Hati, Mendorong PLTS Atap Berlebihan malah Ancam Sistem Kelistrikan
PLTS Atap yang dibangun di atas pabrik di kawasan industri.(Dok. Pefron)

Keinginan pemerintah untuk mempercepat bauran energi baru dan terbarukan menjadi 23% pada 2025 dengan membangun PLTS Atap mengancam sistem kelistrikan. 

Apalagi saat ini ada rencana merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Isi dari Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut menyebutkan bahwa tarif ekspor-impor PLTS Atap akan menjadi 100% atau naik 35% dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65%. Artinya, PLN harus membeli 100% listrik PLTS atap.

Guru Besar Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Iwa Garniwa mengungkapkan jika melihat data statistik, Indonesia hanya menyumbang emisi 1,8%, China 2,8% dan Jepang 3,3%. Bahkan Amerika Serikat menyumbang emisi hingga 14,5%. Artinya, Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang mengotori langit dunia. 

Fakta kedua, sebanyak 68% pembangkit atau bahan baku pembangkit di Indonesia masih menggunakan batu bara yang harga jual listriknya termurah. Dari dua fakta ini Iwa menyarankan kita tidak boleh terburu-buru dan terlalu massif. 

“Kita selalu membandingkan dengan negara, ini bukan pertandingan," ujar Iwa saat diskusi bersama media, Jumat (13/8) sore.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terus menekan energi berbasis fosil dari tahun ke tahun dengan mendorong secara masif peningkatan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mengejar target bauran energi dari EBT sebesar 23% pada 2025. 

Iwa mengingatkan tujuan dari energi untuk masyarakat adalah mendapatkan akses dan harga yang terjangkau. Sedangkan dari sisi PLN, listrik harus beroperasi dengan handal, berkualitas baik, dan ekonomis. "Jadi sekarang kita masuk green energy. Tapi Green energy ini  mahal," katanya.

Lalu muncul soal PLTS Atap yang murah dan didorong untuk secara masif perkembangannya. Namun PLTS Atap bersifat intermitend atau tidak bisa berdiri sendiri. "Saya kasih contoh, jika tiba-tiba awan lewat pasokan turun ke sistem. Lalu siapa yang memikul itu?" imbuh dia.

Menurut Iwa, sumber energi dari EBT yang memikul beban kelistrikan di sistem PLN bervariasi, mulai dari PLTA, PLTP, hingga biomassa. Dari sisi itu bauran energi nasional harus kuat. 

Iwa menambahkan, masuknya PLTS Atap secara massif jangan melupakan keberadaan PLN sebagai aset negara yang harus dijaga. Saat Photovoltic (PV) memakai pemikulnya PLN, maka akan ada batasan, baik batasan menyangkut keandalan maupun batasan dari sisi harga. 

Di Indonesia itu ada 22 sistem, masing-masing sistem harus ada dibuat grid operasi. Karena itu, menurut guru besar teknik elektro Universitas Indonesia,  harus dihitung berapa persen yang intermiten masuk dalam sistem agar memenuhi operasi yang handal, kualitas bagus dan mutu baik. 

“Tidak bisa pokoknya EBT sebanyak-banyaknya. Tidak peduli terhadap hal itu barangkali pemutus kebijakan, Kok seperti tidak paham situasi,” tegas Iwa.

Bayangkan jika di suatu komplek perumahan, 50% menggunakan rooftop tanpa baterai. Sementara PLN untuk menaruh gardu distribusi menghitung BPP. 

“Berapa investasinya dan berapa harapan KWh yang dijual? Lalu 50% tadi memakai PLTS rooftop, energinya diambil. BPP-nya kan mahal, lebih parah dipaksa beli. Ini apa yang terjadi,” kata Iwa

Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengatakan bahwa PLN mulai harus bergerak memproduksi listrik yang berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini sesuai dengan tuntutan global dimana produk yang menggunakan hasil produksi dari energi yang tidak green akan ditolak pasar. 

Erick mengingatkan jangan sampai produk-produk buatan Indonesia tidak diterima negara lain akibat menggunakan listrik berbasis fosil yang dianggap kotor .

“PLN mendukung produksi basis industri di Indonesia, tapi kalau tetap produksi listrik yang enggak ramah lingkungan maka hasil produksi negara kita mungkin juga mungkin tidak  bisa diterima negara lain,” kata Erick di Jakarta, Kamis (12/8)

Erick meminta PLN merealisasikan rencana yang telah dirumuskan menuju net zero emission atau bebas karon pada 2060. Salah satu kunci utama menuju target itu adalah yaitu dengan mendorong pengembangan pembangkit EBT untuk gantikan pembangkit fossil.(RO/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya