Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Pemerintah Harus Lebih Terbuka Soal Detil Kebijakan Anggaran PEN

M. Ilham Ramadhan Avisena
03/6/2020 19:03
Pemerintah Harus Lebih Terbuka Soal Detil Kebijakan Anggaran PEN
Suasana Jalan Jenderal Sudirman Jakarta saat pelaksanaan PSBB di Jakarta(Antara/Hafidz Mubarak A)

DIREKTUR Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, pemerintah seharusnya lebih terbuka terkait penambahan anggaran beserta pengalokasiannya dalam penanganan pandemi covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).

"Bagusnya adalah program-program yang disampaikan oleh kementerian keuangan juga dibahas di parlemen lebih detil. Jadi tidak serta merta karena ada UU 2/2020 kemudian tidak dibahas mendetil di parlemen ataupun civil society," imbuh Tauhid saat dihubungi, Rabu (3/6).

"Karena nanti kontrolnya bisa kebablasan, karena banyak alokasi yang muncul tiba-tiba tanpa ada diskusi, tanpa ada perdebatan yang cukup kompleks anggaran itu munculnya dari mana, dasarnya apa? Kenapa misalnya BUMN mendapatkan dana besar, yang lain tidak, UMKM hanya Rp34 triliun seperti itu misalnya. Saya kira itu harus disampaikan," sambung dia.

Hal lainnya, lanjut Tauhid, yakni keterlibatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harusnya tidak sebatas pada saat pemeriksaan laporan. BPK bisa mengawasi kebijakan pemerintah mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pemeriksaan guna memastikan uang negara yang terpakai dapat dipertanggungjawabkan.

Bila tidak demikian, Tauhid khawatir pengalokasian dana yang diberikan pemerintah justru tidak sejalan dengan tujuan penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional.

Baca juga : Ini Penjelasan Dirjen Pajak Soal Pungutan PPN untuk Netflix Cs

"Misal, ada anggaran yang diperuntukkan untuk BUMN, apakah benar kebutuhannya itu karena dampak covid atau memang misalnya BUMN itu kinerjanya memburuk sebelum covid? kita kan gak tahu. Kenapa skemanya ada yang PMN, ada yang dana talangan, skema-skema itu yang menurut saya menjadi pertanyaan. Itu penting," jelas Tauhid.

Kemudian menyoal bantuan sosial, ia meyakini, pada saat evaluasi nanti akan didapati ketidakefektivan program tersebut dan tidak berkontribusi besar pada perekonomian meski anggarannya dinaikkan.

Sebab, bantuan sosial yang diberikan pemerintah tidak meruncing pada masyarakat kelas bawah yang benar-benar kehilangan pendapatan karena pandemi, melainkan disebar kepada seluruh masyarakat.

"Hasil survei BPS dampak covid ke masyarakat, 70% sampai 80% masyarakat yang berpenghasilan Rp1,8 juta itu pendapatannya berkurang drastis. Sementara yang pendapatannya tinggi Rp7,2 juta ke atas hanya 30% yang berkurang. Artinya ada ketidakadilan kalau bantuan sosial yang harusnya mendapatkan bantuan sosial tidak diterima oleh mereka yang paling terdampak," terang Tauhid.

Untuk itu pengawasan pada penyaluran bantuan sosial tersebut menjadi penting. Pemerintah perlu untuk melibatkan banyak pihak untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan keefektifan berjalannya program bantuan sosial tersebut.

Jangan sampai, Tauhid bilang, anggaran yang sedianya diperuntukkan menolong kesejahteraan masyarakat justru menjadi bumerang di kemudian hari.

Tauhid juga menyampaikan, anggaran yang dikeluarkan pemerintah dalam menghadapi pandemi covid-19 dan program PEN tidak sebanding. Itu dinilai bertolakbelakang dengan yang disampaikan pemerintah tentang pentingnya kesehatan dan ekonomi dalam masa pandemi ini.

Baca juga  : Wacana New Normal, Rupiah jadi Menguat

"Porsi anggaran total PEN ini hanya 11% untuk kesehatan dan PEN itu sendiri 89%. Jadi dengan komposisi ini, ya gimana pandemi mau berakhir kalau anggaran kesehatan jauh lebih kecil dibanding anggaran PEN. Itu gimana caranya mau menyeimbangkan, kalau anggarannya saja sudah jauh sekali, 1 banding 9. Menurut saya itu harus diperbaiki. Realokasi untuk kesehatan, banyak insentif tenaga kesehatan terlambat, ada yang rebutan PCR, padahal kan test itu mahal sekali, harusnya pemerintah bisa tanggung itu," tutur Tauhid.

Lebih jauh ia menyampaikan, proyeksi kurva V yang dipegang pemerintah soal pulihnya ekonomi nasional meragukan. Sebab dengan kondisi saat ini dan pandemi yang urung usai, pemulihan ekonomi tidak akan berjalan cepat atau akan tumbuh dengan kurva U.

Meski kenormalan baru (new normal) digadang dapat memperbaiki ekosistem perekonomian Indonesia, Tauhid menilai hal itu tidak sepenuhnya mendorong perekonomian kembali ke garis semula. Sebab, selama kenormalan baru berlaku, selama itu pula ancaman pandemi masih ada dan aktivitas ekonomi maupun sosial tetap akan terbatas.

"Selama kita belum bisa menyelesaikan pandemi, kasusnya masih banyak, kesadaran masyarakat masih belum begitu bagus, otomatis itu akan mengancam ekonomi yang cukup lama. Saya yakin 2021 belum bisa tumbuh normal. Bahkan kalau nanti bahayanya kalau ada gelombang kedua bisa kurva W. Jadi ketika naik, bisa anjlok lagi ketika ada gelombang kedua. Ini yang dikhawatirkan banyak negara," kata Tauhid.

"Kita sudah terlanjur new normal dan PSBB dicabut. Jadi memang potensinya adalah kalau di 2021 kita merangkak memperbaiki tapi belum normal betul. Karena kasusnya kita masih cukup besar dan new normal ini kan tidak full capacity dari ekonomi. Banyak sektor yang masih terbatas," pungkasnya. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya