Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
OKSIGEN yang kita hirup selama ini hampir setengahnya berasal dari laut, dari tumbuhan laut, seperti fitoplankton dan rumput laut, yang menggunakan karbon dioksida, air dan, energi dari matahari untuk membuat makanan bagi diri mereka sendiri, dan melepaskan oksigen dalam prosesnya atau dikenal dengan proses fotosintesis.
Akan tetapi, baru-baru ini ditemukan adanya produksi oksigen lainnya di laut dalam yang tidak terkena sinar matahari oleh ilmuwan. Studi yang diterbitkan di jurnal Nature Geoscience pada 22 Juli 2024, mengungkapkan terkait ditemukannya "oksigen gelap" yang dihasilkan di laut dalam.
Melansir dari situs BBC News, Profesor dari The Scottish Association for Marine Science, Prof Andrew Sweetman, menuturkan jika penemuan oksigen laut dalam sebenarnya sudah diketahui pertama kalinya pada 2013. Akan tetapi, Sweetman mengabaikan penemuan tersebut karena menurutnya di kala itu, oksigen hanya dapat dihasilkan melalui fotosintesis.
"Saya pertama kali melihat hal ini pada 2013, sejumlah besar oksigen diproduksi di dasar laut dalam kegelapan total. Saya menyadari bahwa selama bertahun-tahun saya telah mengabaikan potensi penemuan besar ini," katanya.
Dalam studi tersebut, Sweetman dan rekan-rekannya meneliti laut dalam di wilayah antara Hawaii dan Meksiko. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa pada kedalaman 5 km yang tanpa sinar matahari, ada oksigen yang dihasilkan oleh "nodul", logam alami yang memecah air laut yakni H20 menjadi hidrogen dan oksigen.
Nodul terbentuk ketika logam terlarut dalam air laut terkumpul pada pecahan cangkang atau puing-puing lainnya. Ini merupakan proses yang memakan waktu jutaan tahun.
Nodul ini mengandung logam seperti litium, kobalt, dan tembaga, yang semuanya diperlukan untuk membuat baterai. Oleh karena itu, banyak perusahaan pertambangan kemudian mengembangkan teknologi untuk mengumpulkan nodul dan membawanya ke permukaan. Hal tersebut membuat para ilmuwan menganggap risiko penambangan bisa merusak ekosistem laut dan nodul.
Lewat uji laboratorium, para ilmuwan menemukan nodul bekerja seperti layaknya baterai. Para ilmuwan mengukur tegangan pada setiap gumpalan logam dan menemukan bahwa nodul dapat menghasilkan arus listrik.
Secara umum, tegangan yang dihasilkan oleh nodul hampir sama dengan tegangan pada baterai berukuran AA. Tegangan tersebut menghasilkan oksigen dengan cara memecah udara laut menjadi gelembung yang mengandung hidrogen dan oksigen.
Sweetman menuturkan apabila kamu memasukkan satu baterai, tidak akan ada cukup daya untuk menyalakan obor. Akan tetapi, apabila dengan dua baterai, tegangan yang cukup akan dihasilkan untuk menyalakannya.
"Begitu juga dengan nodul-nodul di dasar laut, saat mereka saling bersentuhan, mereka bekerja bersama-sama, mirip dengan beberapa baterai yang menghasilkan daya secara serempak," paparnya.
Hal yang menarik ialah nodul ini sama sekali tidak memerlukan bantuan cahaya matahari seperti produksi oksigen pada umumnya. Bahkan, besar kemungkinan nodul juga dapat bekerja di bulan maupun planet lain.
Penemuan nodul yang penting bagi ekosistem dan penelitian ilmuwan disertai dengan pertambangan. Sehingga diketahui berbagai perusahaan mencoba melakukan eksplorasi di sekitar Zona Clarion-Clipperton yang merupakan tempat penemuan nodul.
Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA) mengecam berbagai upaya penambangan di dasar laut. Sebab, dapat merusak kehidupan dan habitat dasar laut. Sehingga sekitar 800 ilmuwan kelautan dari 44 negara telah menandatangani petisi untuk menghentikan aktivitas penambangan di dasar laut.
Ahli Biologi Kelautan dari Edinburgh University, Prof Murray Roberts mengatakan sudah ada bukti yang sangat kuat bahwa penambangan terbuka di ladang nodul laut dalam akan menghancurkan ekosistem yang hampir tidak kita pahami.
"Akan sangat gila untuk terus melanjutkan penambangan laut dalam meskipun tahu bahwa ladang-ladang ini mungkin merupakan sumber produksi oksigen yang signifikan," katanya. (M-4)
Klaim nodul logam di dasar laut dalam mampu menghasilkan oksigen tanpa bantuan cahaya matahari, mendapat tanggapan skeptis dari ilmuwan dan perusahaan penambangan laut dalam.
Mulai Senin (10/7), masa depan pertambangan laut dalam dan ekstrasksi mineral dibahas di Jamaica.
Sutradara film Titanic James Cameron ikut berkomentar terkait meledaknya kapal selam Titan milik OceanGate. Menurutnya, kejadian itu persis seperti peristiwa tenggelamnya kapal Titanic.
Ikan yang disebut snailfish itu hidup di laut paling dalam dengan kedalaman lebih dari 27 ribu kaki atau 8.336 meter di bawah permukaan laut.
Profesor di Indonesia memiliki waktu yang sedikit untuk melakukan riset atau penelitian karena waktunya dihabiskan untuk mengajar di kampus.
Pentingnya regulasi yang proporsional, khususnya di sektor kesehatan. Salah satu contohnya adalah perlunya pendekatan berbasis bukti dalam mengatur produk tembakau alternatif.
WAKIL Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Stella Christie optimis terhadap masa depan riset Indonesia.
DORONG pemanfaatan hasil riset dalam upaya meningkatkan kinerja industri yang diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Kunjungan tersebut bertujuan memperkuat kolaborasi di bidang riset dan teknologi pertanian dan mencari solusi terhadap tantangan pangan di Tanah Air.
IndoStrategi merilis hasil evaluasi kinerja Kabinet Merah Putih setelah enam bulan masa kerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved