Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
DI luar bangunan itu tampak mencolok dengan bangunan beton menjulang, tetapi juga dirimbuni pohon. Begitu masuk, daya tariknya makin menjadi karena ruang-ruang di bangunan empat lantai itu serupa labirin penuh buku. Di berbagai sudutnya juga ada spot-spot nyaman untuk membaca sekaligus juga sangat estetik untuk konten medsos.
Bangunan yang berada di Kompleks Taman Villa Meruya, Tangerang, Banten, itu terdiri dari rumah, studio arsitek, percetakan, hingga perpustakaan milik arsitek Realrich Sjarief. Perpustakaan yang dinamakan Omah Library itu dihadirkan Rich mulai medio 2014-2015 karena pemilik Realrich Architecture Workshop (RAW) itu membutuhkan ruang untuk berdiskusi tentang pergerakan arsitektur.
“Sebenarnya, kan, dari dulu cuma ada tiga gerakan arsitektur. Gerakannya itu government project, capital project (real estate), dan yang ketiga gerakan postmodernism (stylist basis). Gunanya diskusi, kami sadar bahwa arsitek itu part of the game. Jadi, kami mencari relasi dari ketiga gerakan tersebut dan satu hal yang paling penting adalah sisi kita sebagai manusia. Akhirnya dari kegelisahan itu, saya mulai intens berdiskusi soal arsitektur,” cerita Rich kepada Media Indonesia, Selasa (20/8).
Baca juga : Menumbuhkan Minat Baca Dengan Gerakan PM
Sebelum menjadi perpustakaan, salah satu sudut di RAW telah ibarat menjadi toko buku dari buku-buku terbitan RAW Press yang telah menerbitkan 22 judul buku karya Rich dan 20 judul buku arsitektur karya penulis lainnya. Kini, Omah Library telah meluaskan ruangnya, begitu juga koleksi bukunya yang juga didapatkan dari para donatur. Koleksinya juga mencakup buku perkotaan hingga pengembangan diri.
Para pengunjung bisa memilih area membaca di ruang atas, termasuk di tepi jendela-jenda oval besar dan berlantai kaca, maupun di rubanah yang ruang bacanya seperti ruang keluarga yang nyaman. Namun, akses perpustakaan harus melalui reservasi dengan pilihan waktu pukul 10.15-12.15 WIB, pukul 16.00-18.00, atau pukul 18.45-20.45. Per sesi, kuota pengunjung 15 orang dan durasi 2 jam, dengan besaran donasi Rp35 ribu per sesi kunjungan.
Ruang baca yang estetik dan nyaman itu pula membuat Omah Library cukup terkenal di medsos. “Tadinya mungkin yang berkunjung cuma satu-dua orang, tapi tahu-tahu jadi besar. Mungkin karena media sosial juga. Sekarang mungkin dalam satu bulan bisa sampai 1.000-1.500 orang berkunjung,” lanjut Rich.
Baca juga : Dorong Literasi Masyarakat dengan Salurkan Perpustakaan Keliling
Donasi dan beberapa aktivasi seperti tur hingga kafe dibuat untuk membayar biaya listrik hingga upah bagi staf. Rich tidak mencari profit dan tidak pula ingin lebih mengomersialkan tempat itu. Meski mungkin banyak orang datang bukan bertujuan utama membaca, ia tak soal. “Kami merayakan siapa pun yang datang ke sini. Mencoba melayani dengan baik dan melihat doa-doa yang mereka berikan menjadi doa yang encourage kami,” kata Rich yang membangun satu perpustakaan serupa, Guha Boboto, di Jalan Penyelesaian Tomang III, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat.
Kurasi buku-buku yang ada di Guha Boboto disebut Rich lebih ‘kiri’. Buku-buku di sana berisi filsafat kiri dan yang lebih bercorak sosialisme. Di samping itu, di perpustakaan tersebut Rich juga ingin mewujudkan idealisme arsitekturnya dengan menerjemahkan konsep yang lebih progresif. “(Guha Boboto) itu seperti magnum opus saya,” katanya.
Baca juga : Keraton Yogyakarta Lestarikan Objek Literasi Budaya
Sambil makan dan minum
Di Tebet, Jakarta Selatan, Anjar Mursyidi kerajingan mengunjungi perpustakaan Baca di Tebet. Dalam seminggu, ia bisa 2-3 kali berkunjung dan biasanya sejak tengah hari sampai sebelum maghrib. ”Sebelumnya nyari kafe buat kerja yang nyaman dan terjangkau. Akhirnya dapat (info) di Tiktok, social media (Baca di Tebet) dan lokasinya juga strategis, dekat dari tempat tinggal,” kata Anjar, Rabu (21/8). “Buat kerja enak aja vibes-nya. Terus, spot buat foto di sini juga enak,” lanjutnya pria yang berprofesi sebagai desainer grafis itu.
Baca di Tebet memiliki koleksi total 26 ribu buku, berbahasa Indonesia dan Inggris, dengan topik didominasi sastra, humaniora, hingga novel, baik karya Pramoedya Ananta Toer, Dee Lestari, hingga Stephen King. Perpus itu bisa diakses pada Minggu, Selasa-Kamis pukul 10.00-18.00, sedangkan pada Jumat-Sabtu pukul 12.30-20.30. Tiket masuk harian dibanderol Rp35 ribu, sedangkan tiket bulanan Rp100 ribu per bulan, hingga Rp800 ribu untuk member tahunan bagi umum dan Rp600 ribu per tahun bagi pelajar.
Baca juga : Pemahaman Literasi Jangan Diracuni dengan Konsep yang Rumit
Ruang baca perpustakaan yang berdiri sejak 20 Februari 2022 itu nyaman dengan kursi dan meja kayu. Selain itu, tidak seperti di perpus yang harus senyap, Baca di Tebet menyediakan ruangan untuk orang membaca sambil makan dan minum.
Di bangunan dua lantai itu tetap tersedia juga ruang baca dan ruang pikir yang kedap suara dan hening. Kemudian ada pula ruang yang memungkinkan para pengunjung membuat konten siniar dan lainnya. Demi kenyamanan, pengunjung dibatasi 50 per hari, kecuali saat adanya acara atau kegiatan di ruang Roy BB Janis (ruang temu).
”Yang kami lakukan di Baca di Tebet membuat perpustakaan itu tidak menjadi sesuatu tempat yang formal, tempat yang kaku, yang 'angker', karena konsep Baca di Tebet bukan hanya untuk merawat buku, melainkan juga merawat pengetahuan,” kata salah satu pendiri Baca di Teber, Kanti W Janis, via rekaman suara, Rabu (21/8).
Lebih lanjut, ia menjelaskan konsep nyaman itu disebabkan berangkat dari cita-cita masa kecil untuk punya tempat belajar yang menyenangkan. Sebab itu, Baca di Tebet bukan sekadar perpus, melainkan tempat belajar hingga ngumpul penulis.
“Tempat belajar itu harusnya menyenangkan, harusnya memerdekakan. Di perpustakaan itu, kita benar-benar yang namanya belajar dengan merdeka karena kita bisa memilih subjek apa pun yang kita mau. Jadi, sebagai sebuah tempat belajar, juga menulis,” tambahnya.
Ia pun menyebut perpus itu menjadi cara mengampanyekan penguatan daya baca dalam arti luas. “Membaca bagi kami itu artinya luas, enggak cuma buku. Membaca sekelilingnya, mencari tahu, itu, kan, udah suatu minat,” lanjutnya.
Hal itu diamini pendiri lainnya dari Baca di Tebet, Wien Muldian. ”Jadi, kita mengembangkan perpustakaan ini untuk bagaimana, ya, akhirnya gimana kita bisa merawat pengetahuan, merawat gagasan,” kata Wiem, Kamis (22/8) di Baca di Tebet. Koleksi bukunya mencapai 90% koleksi perpus tersebut. Mereka juga mendapat banyak donasi buku yang kemudian disalurkan ke perpus lainnya, seperti Baca di Ciremai. (M-1)
Berdoa, belajar, bekerja, berkarya, dan berbagi.
Demi terus meningkatkan kegemaran membaca, Perpusnas melakukan sejumlah upaya, di antaranya melakukan inovasi layanan berbasis TIK.
Aktivitas layanan perpustakaan secara langsung ditutup dan akan dibuka kembali pada 14 September dengan menerapkan protokol kesehatan covid-19.
Bale Buku Jakarta yang diresmikan akan menjadi sarana bagi masyarakat di wilayah setempat agar lebih mudah mendapatkan akses bacaan yang berkualitas.
Akses layanan perpustakaan kepada masyarakat tetap dapat berjalan melalui aplikasi iJakarta. Aplikasi iJakarta dapat diunduh melalui Playstore untuk pengguna Android.
Adanya taman baca di Menara Samawa diharapkan mampu difungsikan sebagai sarana belajar mengajar untuk meningkatkan budaya membaca anak-anak di lingkungan Menara Samawa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved