Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Sato Reang, Perjalanan Ibadah dan Keinginan Berbuat Nakal

Rahmatul Fajri
25/8/2024 05:05

SATO Reang seorang anak di Desa Rawa Batu yang datang dari keluarga taat beragama. Sang ayah, Umar, merupakan sosok yang rajin beribadah ke masjid serta membaca Al-Qur'an. Sementara itu, bagi Sato Reang, beribadah tak sepenuhnya menyenangkan. Sebagai anak kecil, ia hanya ingin bermain bersama teman-teman tanpa harus pergi salat ke masjid. Terkadang ia iri kepada teman-temannya yang tak pernah dituntut beribadah oleh orangtua mereka.

Semakin Sato Reang menunjukkan ketidaksukaannya pada beribadah, sekuat itu pula sang ayah mengajak beribadah. Setiap pagi, sebelum matahari terbit di ufuk timur, Sato Reang sudah dibangunkan untuk menunaikan salat Subuh. Meski kesal, Sato Reang hanya memiliki pilihan untuk mengikuti.

Sang ayah bisa lebih marah ketika Sato Reang tidak salat. Sembari mengomel di dalam hati, Sato Reang tetap berangkat ke masjid bersama ayahnya. Hal tersebut terjadi setiap hari dan telah menjadi agenda rutin baginya.

Baca juga : Inilah Buku Sejarah yang Mengupas Konflik Internal di Partai Politik

Hal yang sama terjadi kala azan berkumandang, sang ayah segera mencari Sato Reang. Beberapa kali ia mendapati anaknya sedang bermain bola dan tidak mengindahkan suara azan. Kali lain, Sato Reang membuat keonaran di surau, tempat para sesepuh kampung salat dan mengaji. Hal tersebut membuat sang ayah murka hingga menebas bola yang dimainkan Sato Reang dengan parang.

Setelahnya, Sato Reang akan pergi salat, tetapi dengan perasaan dan pikiran yang tak tenang. Lagi-lagi, ia hanya ingin bermain.

Baca juga : Sejarah Narkoba di Tanah Air dari Zaman Kolonial Hingga Kini

"Selain itu, menjadi anak saleh artinya aku harus sembahyang lima kali sehari. Harus mengaji di malam hari. Tidak makan dan tidak minum dari subuh hingga pergantian malam di bulan puasa. Harus takut kepada Tuhan. Jika menginginkan sesuatu, harus memohon kepada Tuhan. Tak bisakah anak-anak bermalas-malasan saja? Berlarian di parit kerontang mengejar kadal?" (Halaman 14)

 

Jiwa sang ayah di tubuhnya

Baca juga : The Untold Story: Kopassus untuk Indonesia

Pada momen lain diceritakan, Sato Reang hendak disunat saat usianya menginjak tujuh tahun. Di satu sisi, Sato senang bakal mendapatkan hadiah seusai disunat. Namun, ia dihantui pesan sang ayah bahwa ketika sudah disunat, Sato Reang harus menjadi anak saleh. Hal itu tentu tak sesuai dengan keinginannya, ia ingin menjadi begundal yang tak mau diatur dan bisa berbuat kenakalan semaunya.

Usaha sang ayah untuk terus mengajak Sato Reang salat dan mengaji pun tak pernah padam. Dengan sebatang rokok di bibirnya, sang ayah mengajari Sato Reang belajar mengaji. Namun, kegigihan sang ayahnya tak berhasil, Sato Reang bahkan mengulangi kesalahan yang sama dari hari ke hari.

Seiring dengan berjalannya waktu, Sato Reang harus kehilangan sang ayah yang menghadap Ilahi. Hal itu membuat ibu dan adiknya terpukul. Namun, tidak dengan Sato Reang, ia merasa tidak ada lagi yang menuntunnya menjadi anak saleh dan bisa berbuat semaunya.

Baca juga : Kala Pintu tidak sekadar Saksi Bisu

"Guru sejarah menghampiriku. Ia kawan baik ayahku, pernah berkata, dulu mereka satu sekolah dan kenal sejak masih kecil. Guru sejarah ini berkata kepadaku, "Kau anak saleh. Doakan ayahmu. Doa seorang anak saleh akan membuat lapang jalannya ke surga."

"Mendengarnya menyebutku sebagai anak saleh membuatku merasa sedikit mendidih. Saat itulah pikiran untuk kembali bermain api muncul. Barangkali aku harus membakar sekolahku dan melenyapkan seluruh kawan-kawanku, juga guru-guruku." (Halaman 76)

Perasaan sudah merdeka ternyata tak sepenuhnya benar. Jiwa sang ayah masih hidup di badannya. Ajaran dan kebiasaan dari sang ayah terus menghantuinya, bahkan dilakukan tanpa ia sadari. Misalnya, ketika subuh tiba, Sato Reang merasa dirinya dibangunkan sang ayah. Sato Reang lantas bersiap dan berjalan menuju masjid. Setibanya di masjid, ia menyadari jalan sendiri, tanpa ayahnya. Biasanya, Sato Reang berjalan di belakang ayahnya sambil menahan kantuk.

 

Berbuat kenakalan

Kekesalan Sato Reang semakin menjadi. Ia ingin sang ayah benar-benar pergi dari hidupnya. Caranya, ia terus melakukan kenakalan dan mengajak teman sekelasnya yang bernama Jamal untuk berbuat dosa. Keberhasilan membujuk orang lain untuk melakukan hal dosa seperti menonton film porno dan minum alkohol menjadi kepuasan tersendiri bagi Sato Reang.

“Berbuatlah sedikit dosa, Jamal,” kataku kepada satu kawan sekolah, seolah ingin menyebarkan pencerahan yang kuperoleh. “Kau anak saleh. Pahalamu sudah banyak. Bertumpuk-tumpuk. Tak akan habis dikurangi timbangan dosamu.” Mendengar kata-kataku tersebut, Jamal akan terdengar bergumam, memohon perlindungan dari Tuhan." (Halaman 1)

Kisah Sato Reang tersebut ditulis Eka Kurniawan dalam novel terbarunya yang berjudul Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong. Setelah vakum menulis novel panjang selama delapan tahun, Eka hadir dengan novel yang menyuguhkan cerita fiksi menarik. Novel setebal 133 halaman ini ditutup dengan getir. Sato Reang yang masih anak-anak harus mengalami kejadian pilu, yakni Jamal tewas tertabrak oleh mobil dalam keadaan mabuk. Hal itu menimbulkan trauma mendalam bagi Sato Reang.

 

Bijak mengajarkan soal agama

Novel Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong memiliki cerita yang menarik. Eka memang piawai menggambarkan situasi dan cerita dengan bahasa yang puitis, tapi mudah dipahami. Namun, cerita Sato Reang itu terasa lebih dekat bagi pembaca beragama Islam karena latar belakang tokoh utamanya memang berasal dari keluarga muslim yang bicara soal salat, mengaji, hingga khitan.

Novel ini pun didasari dari kejadian dan pengalaman di lingkungan sekitar. Kita bisa melihat bagaimana orangtua mengajarkan agama kepada anak. Ada pelajaran yang tersirat dari novel ini, pentingnya mengajarkan agama kepada anak dengan cara yang bijak. Cara yang keras bisa berhasil, bisa juga tidak. Itu yang ditunjukkan Eka dalam novel kali ini.

Semakin menarik kala membahas judul buku ini karena tidak ditemukan sama sekali di dalam novel. Saat berbincang dengan Media Indonesia beberapa waktu lalu, Eka Kurniawan berkelakar judul yang dipilih kali ini tidak memiliki makna spesifik atau jalur cerita yang lebih detail di dalam buku.

"Saya juga nggak tahu, ya, kayak formula atau apa," kata Eka.

Berdasarkan pengalamannya membuat novel, Eka menyebut judul tak selalu muncul di awal. Terkadang ketika sedang menulis, judul bisa muncul. Namun, Eka mengaku memilih judul tak harus selalu berhubungan dengan isi novel.

"Saya pikir 'apalah arti sebuah nama', diganti sajalah dengan ungkapan 'apalah arti sebuah judul'," ucap lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada itu.

Sama halnya dengan judul, alur cerita yang ditulis Eka mengalir begitu saja. Pada novel kali ini, pria yang terpilih sebagai salah satu dari 100 Global Thinkers of 2015 dari jurnal Foreign Policy itu tak membagi ceritanya dalam beberapa bab atau bagian. Ia membuat cerita yang memiliki alur maju-mundur, tetapi Eka mampu membuat pembaca masih bisa mengikuti jalan cerita tanpa harus kembali ke halaman selanjutnya.

Suami penulis Ratih Kumala itu juga berbicara soal nama tokoh utama buku ini, yakni Sato Reang, nama yang agak asing bagi orang Indonesia.

"Saya ingin membawa yang unfamiliar menjadi familiar. Makanya namanya Sato Reang yang bisa diartikan macam-macam dan saya suka nama yang jarang digunakan begitu, ya," ungkapnya.

Secara umum, novel Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong ini menarik untuk dibaca. Novel kelima Eka setelah Cantik itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), dan O (2016) itu memiliki cerita ringan, tapi sarat makna. Novel kali ini pun lebih tipis daripada karya-karya lainnya.

"Sebenarnya saya ingin bikin panjang lagi, tapi takutnya terjadi pengulangan cerita yang mubazir. Akhirnya saya memilih menyudahi novelnya dengan cerita seperti ini." (M-3)

 

Detail Buku

Judul buku: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong

Penulis: Eka Kurniawan

Tahun terbit: 19 Jul 2024

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman: 133

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya