Gelombang Panas Laut Bertahan Lebih Lama di Perairan Dalam

Devi Harahap
20/9/2023 18:37
Gelombang Panas Laut Bertahan Lebih Lama di Perairan Dalam
Dua ekor ikan paus di perairan laut dalam Kanada( Olivier MORIN / AFP))

Para ilmuwan dari Pusat Ilmu Kelautan di Universitas Algarve, Portugal dalam studi terbaru mereka mengungkapkan fenomena gelombang panas di laut dengan suhu air yang sangat tinggi menjadi lebih sering, intens, dan bertahan lebih lama di perairan yang sangat dalam.

Gelombang panas laut adalah gelombang panas ekstrem yang terjadi di laut, mirip seperti yang terjadi di daratan. Meski di laut, dampaknya tak bisa diremehkan. Gelombang berskala kecil saja bisa menghangatkan air laut di sekitar teluk kecil maupun besar selama beberapa hari ataupun pekan.

Sedangkan dampak gelombang berskala besar bisa memanaskan air laut hingga 2-3 °C di atas rata-rata selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dan gelombang yang terjadi akan sangat besar.

Air laut yang menghangat juga berdampak bagi banyak makhluk laut, seperti ikan bisa mati karena metabolisme yang meningkat saat air menghangat. Proses ini menghabiskan energi lebih cepat dari kemampuan ikan ini melahap mangsa.

Terumbu karang di kawasan Great Barrier Reef di lepas pantai selatan Australia dan Pasifik timur laut pun juga terancam perkembangannya. Tak hanya itu, gelombang panas laut juga memperparah perubahan iklim.

Seperti dilansir dari Phys, lautan  telah menyerap 90% dari kelebihan panas yang dihasilkan oleh polusi karbon dari aktivitas manusia sejak awal era industri. Hal ini terus berlanjut dan semakin buruk. Kerugian akibat gelombang panas laut pun ditaksir bisa mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun.

Dalam studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change ini, para peneliti melihat dampak lonjakan suhu di perairan yang lebih dalam. Menurut penulis utama Eliza Fragkopoulou, untuk mengetahui seperti apa dampaknya, harus ada upaya utama untuk melihat gelombang panas laut di bawah permukaan.

“Gelombang panas laut dan dampaknya telah dipelajari sebagian besar di permukaan laut. Tetapi kami tidak tahu banyak tentang karakteristiknya di laut dalam,” ujarnya.(M-3)

Penelitian yang menggunakan metode pengamatan dan pemodelan secara langsung, para peneliti meneliti gelombang panas laut global dari tahun 1993 hingga 2019, termasuk data hingga 2.000 meter (6.562 kaki) di bawah permukaan.

Mereka menemukan bahwa intensitas paling tinggi dari gelombang panas laut terjadi pada kedalaman 50 hingga 200 meter di bawah permukaan, terkadang hingga 19% lebih kuat dari gelombang panas di permukaan.

“Durasi juga meningkat seiring dengan kedalaman dan intensitas pemanasan yang bertahan hingga dua tahun setelah suhu kembali normal di permukaan,” kata studi tersebut.

Para ilmuwan lebih lanjut melihat ukuran proksi tekanan panas yang dikenal sebagai intensitas kumulatif dan memetakan dengan distribusi keanekaragaman hayati di tepi batas panas maksimum. Hal itu bertujuan untuk melihat area di mana makhluk laut berpotensi lebih rentan terhadap perubahan.

Mereka menemukan bahwa kondisi tekanan tinggi ini tumpang tindih hingga 22% dari lautan global. Variabilitas regional gelombang panas laut membuat pengukuran paparan keanekaragaman hayati menjadi rumit, dan durasinya bervariasi berdasarkan lokasi karena kondisi laut yang berbeda.

Secara umum, Fragkopoulou mengatakan bahwa kerusakan keanekaragaman hayati kemungkinan paling besar terjadi di permukaan laut hingga kedalaman 250 meter. Bagian terbesar dari lautan yang dikategorikan sangat terpapar gelombang panas juga ditemukan di Atlantik Utara dan Samudra Hindia pada kedalaman antara 1.000 dan 2.000 meter.

Fragkopoulou lebih lanjut menjelaskan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian mengenai gelombang panas di lautan yang lebih dalam untuk mengetahui potensi dampaknya terhadap pariwisata dan perikanan.

“Mengingat dampak gelombang panas laut terhadap keanekaragaman hayati laut pada kedalaman tertentu masih belum banyak diketahui, oleh karena itu ada kebutuhan mendesak untuk melakukan pemantauan yang lebih intens terhadap lautan global untuk memahami dampaknya,” ujarnya.(AFP/M-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya