Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Sebuah studi baru yang dirilis Rabu (8/2) menyebutkan naiknya suhu laut mengancam populasi penyu lantaran menghangatkan tempat bersarang mereka di pantai-pantai di seluruh dunia. Fenomena yang dipicu oleh perubahan iklim ini dapat menyebabkan kepunahan reptil yang sudah terancam, yang memiliki siklus berkembang biak yang panjang dan lebih lambat beradaptasi daripada banyak spesies lain, seperti burung atau kupu-kupu.
Penyu menggali lubang dan bertelur di pasir, yang menjadi lebih hangat dalam beberapa tahun terakhir karena kenaikan suhu laut akibat pemanasan global. Suhu sarang yang lebih hangat menghasilkan lebih banyak keturunan betina, sehingga mempertaruhkan populasi betina yang akan kesulitan menemukan pasangan kawin di masa depan.
"Banyak tempat bersarang penyu saat ini sangat bias perempuan, menunjukkan kenaikan suhu sudah berdampak. Temperatur yang tinggi di lokasi peneluran juga dapat menurunkan produksi tukik," kata penelitian tersebut.
Studi itu untuk melihat apakah penyu dapat mengubah periode berkembang biak mereka ke bagian yang lebih dingin dalam setahun untuk menurunkan suhu sarang. Dalam studi global pertama dari jenisnya, para peneliti membuat model bagaimana penyu dapat mengurangi dampak kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celcius - skenario kasus terbaik yang diuraikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa - di 58 lokasi bersarang di seluruh dunia. Pada tren saat ini, suhu bumi menuju peningkatan 2,6C di atas tolok ukur era praindustri.
Mereka menemukan bahwa memindahkan periode pembiakan mengurangi sekitar 55% pemanasan air laut, yang berarti bahwa sekitar 45% kasus bersarang berisiko. "Temuan ini menggarisbawahi kekhawatiran untuk kelangsungan hidup jangka panjang dari kelompok ikonik ini," kata laporan yang dipublikasikan di Royal Society Open Science Jurnal. Penulis utama Jacques-Olivier Laloe mengatakan kepada AFP bahwa temuan tersebut menunjukkan kemungkinan yang "sangat mengkhawatirkan" bahwa kepunahan lokal dapat terjadi.
"Penelitian tersebut menemukan bahwa penyu yang berkembang biak di garis lintang yang lebih tinggi memang mendapat manfaat saat mereka memindahkan periode bersarang ke periode dengan cuaca yang lebih dingin. Tapi ini lebih sulit bagi penyu yang tinggal di dekat khatulistiwa di mana suhu cenderung berfluktuasi secara musiman," kata laporan itu.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa suhu global kemungkinan akan menghangat melebihi 1,5C, mungkin pada pertengahan abad, yang berarti temuan studi tersebut kemungkinan besar merupakan "hasil yang optimis", kata Laloe dari Universitas Deakin Australia. “Kenyataannya, kemungkinan penyu memiliki potensi yang kurang adaptif terhadap perubahan iklim,” imbuhnya.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan manusia untuk membantu mendinginkan sarang, seperti memberi keteduhan atau menyiram pasir. Tapi ini adalah perbaikan sementara", menurut penulis penelitian itu. "Solusi untuk mengatasi perubahan iklim, seperti mengurangi emisi gas rumah kaca, beralih ke energi terbarukan, dan mengubah pola penggunaan lahan diperlukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim di masa depan," kata studi tersebut.(AFP/M-3)
Pelepasan puluhan tukik ini dilakukan dalam rangka memperingati hari raya Timpek Krulut atau hari Valentine versi budaya Bali.
Penyu memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut, seperti menjaga populasi ubur-ubur yang dapat mengganggu kehidupan laut lainnya.
Lokasi pelepasliaran merupakan kawasan Hutan Lindung yang berada di bawah pengelolaan KPH III Langsa.
Demi mewujudkan komitmen dalam menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem perairan, PT Pupuk Kalimantan Timur menurunkan 134 unit media terumbu di perairan Maratua, Kaltim.
Selain kegiatan menanam pohon mangrove, JFX bersama AGP juga melepaskan tukik atau anak penyu dan melepaskan burung ke habitatnya.
Penelitian terbaru mencatat lebih dari 5.000 mamalia laut terdampar di pesisir Skotlandia sejak 1992.
Studi terbaru di jurnal One Earth mengungkap 60% wilayah daratan Bumi kini berisiko, dengan 38% menghadapi risiko tinggi.
Banjir monsun telah menyapu bersih seluruh desa, memicu tanah longsor, dan menyebabkan banyak orang hilang.
Studi terbaru mengungkap populasi burung tropis turun hingga 38% sejak 1950 akibat panas ekstrem dan pemanasan global.
Dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca, beradaptasi perubahan iklim, dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Perubahan iklim ditandai dengan naiknya suhu rata-rata, pola hujan tidak menentu, serta kelembaban tinggi memicu ledakan populasi hama seperti Helopeltis spp (serangga penghisap/kepik)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved