Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Riset Membuktikan Anak Muda yang Kuliah Memiliki Kesehatan Mental Lebih Stabil

Devi Harahap
21/12/2022 09:55
Riset Membuktikan Anak Muda yang Kuliah Memiliki Kesehatan Mental Lebih Stabil
ilustrasi: Sejumlah mahasiswa dan mahasiswi di ruang kuliah(unsplash.com/javier trueba)

Sebuah penelitian dari University of Surrey di Inggris mengungkapkan anak muda yang pernah mengenyam pendidikan tinggi (kuliah) memiliki kesehatan mental lebih baik. Studi tersebut juga menjelaskan lingkungan universitas juga memberikan pengaruh positif atas kinerja profesional di dunia kerja bagi mereka yang memiliki riwayat tekanan mental.

Lebih lanjut, penelitian yang dipublikasi dalam jurnal ilmiah bertajuk "Differences in Mental Health Inequalities Based on University Attendance: Intersectional Multilevel Analyses of Individual Heterogeneity and Discriminatory Accuracy" tersebut melebarkan lingkup studi pada persoalan ras dan kesehatan mental.

Dalam penelitiannya, tim mengungkapkan bahwa orang kulit hitam dan Asia lebih berkemungkinan kecil menderita gangguan mental ketimbang orang kulit putih. Mereka menekankan bahwa anak muda yang tumbuh di daerah rural atau lingkungan tertinggal yang tidak pernah kuliah lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental. Hal tersebut disampaikan oleh Dr Anesa Hosein, Associate Professor selaku penulis utama penelitian tersebut.

“Memiliki masalah kesehatan mental pada usia dini dapat menyebabkan konsekuensi berupa kerugian signifikan pada kesehatan mental seseorang di masa dewasa, dengan risiko dampak negatif lebih lanjut pada hasil kehidupan pendidikan dan pekerjaan profesional mereka di masa depan," ujar Hosein seperti dilansir dari Science Daily pada Selasa, (22/11).

Hosein menyebutkan, dampak kesehatan mental ini juga dibentuk oleh keanggotaan di lingkungan sosial seperti trauma dan viktimisasi orang-orang kulit hitam dapat meningkatkan risiko psikosis, yakni sebuah kelainan jiwa yang disertai disintegrasi kepribadian dan gangguan kontak dengan kenyataan.

"Di Inggris, lebih dari 50 persen anak muda sekarang telah mengenyam pendidikan kuliah, sehingga dapat mengeksplorasi data hasil kesehatan mental yang berbeda antara kelompok yang berkuliah dan yang tidak kuliah memiliki potensi yang berbeda. Hal itu menarik untuk dipelajari," jelas Hosein.

Para ahli menganalisis data dari Longitudinal Study of Young People di Inggris yang melakukan survei terhadap mereka yang lahir antara tahun 1989 dan 1990. Tim kemudian menggunakan metode Multilevel Analysis of Individual Heterogenity and Discriminatory Accuracy.

Hal tersebut bertujuan untuk memprediksi peluang apakah faktor seperti identitas seksual, etnis, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi dikaitkan dengan hasil kesehatan mental seseorang pada usia 25 tahun, dan membandingkannya berdasarkan pengalaman mengenyam pendidikan tinggi.

Temuan ini juga menunjukkan bahwa perempuan dan orang yang berusia muda serta mengidentifikasi diri sebagai minoritas seksual kemungkinan mengalami masalah kesehatan mental pada usia 25 tahun.

"Sedangkan bagi para minoritas seksual, pendidikan tinggi bisa dilihat sebagai lingkungan yang terbuka dan inklusif di mana para individul dapat lebih bebas mengeksplorasi identitas," ungkap Hosein.

Oleh karena itu lanjut Hosein, memiliki ruang untuk mengekspresikan identitas seksual mereka yang sebenarnya dapat mengurangi risiko perilaku merugikan diri sendiri di masa depan.

Sementara itu, penelitian lain yang dilakukan Dr Nicola Byrom selaku Direktur Jaringan Penelitian Kesehatan Mental Mahasiswa yang didanai UKRI, SMaRteN menambahkan, perhatian akan kesehatan mental di lingkungan pendidikan tinggi terus meningkat.

"Penelitian ini mengingatkan kepada konteks yang lebih luas, yaitu masa dewasa awal adalah saat-saat yang menantang untuk kesehatan mental. Kerap kali lebih mudah untuk mengidentifikasi tantangan ini di dalam lingkungan kampus. Namun, mengetahui konteks yang lebih luas adalah hal yang vital jika berupaya mengurangi beban kesehatan mental di kalangan dewasa muda," ungkap Byrom.

Hal serupa juga dikatakan oleh Mr John De Pury selaku Asisten Direktur Kebijakan di Universities UUK, Inggris. Dia mengatakan bahwa narasi publik akan kesehatan mental mahasiswa dapat terus-menerus negatif. Hal ini terlepas ada usaha signifikan dari kampus untuk mendukung para mahasiswa.

"Penelitian yang berdasarkan pada data Longitudinal Study of Young People in England ini menetapkan narasi ini dalam konteks orang dewasa muda yang lebih luas. Penelitian juga menemukan bahwa kehadiran pendidikan tinggi bisa meningkatkan kesehatan mental. Kini, kita harus," ujarnya.

Sekarang kita perlu memahami lebih baik apa yang dapat dieksplorasi dan diterapkan kepada mahasiswa terkait komunitas, promosi dan pencegahan, akses layanan terkait kesehatan mental dan menginformasikan intervensi untuk semua orang dewasa muda," tandasnya.(M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya