Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Metaverse, Potensial atau hanya Gimik?

Putri Rosmalia
13/8/2022 07:30
Metaverse, Potensial atau hanya Gimik?
(Dok. 123RF)

ISTILAH metaverse gencar digaungkan oleh berbagai kalangan dalam setidaknya dua tahun terakhir. Perusahaan teknologi, hiburan, hingga pemerintahan di berbagai negara ramai-ramai berupaya menciptakan ruang virtual tanpa batas tersebut.

Indonesia tak ketinggalan akan tren tersebut. Sejak 2021 lalu, beberapa perusahaan lokal telah mulai membangun metaverse. Masing-masing memiliki konsep ruang digital yang inovatif dengan menggandeng banyak mitra untuk berkolaborasi meramaikan konten yang akan dihadirkan di metaverse.

Namun, saat ini seiring dengan melemahnya bursa kripto di dunia, popularitas metaverse mulai memudar. Hal itu salah satunya dapat dilihat dari data yang dikumpulkan Google Trends dalam satu tahun terakhir.

Berdasarkan data Google Trends, jumlah pencarian ‘metaverse’ di seluruh negara menurun signifikan setidaknya dalam enam bulan terakhir. Pada Agustus ini, trennya berada di posisi paling rendah sejak kata kunci ‘metaverse’ pertama kali muncul di Google pada Agustus 2021 lalu.

Pencarian berbagai hal tentang metaverse di Google mencapai puncaknya pada Oktober 2021 hingga akhir Januari 2022. Setelahnya, angkanya terus menukik tajam tanpa ada tanda-tanda kenaikan.

Di ranah pakar teknologi dan pebisnis digital global, pesimisme akan metaverse rupanya juga telah mulai bermunculan. Metaverse bahkan ramai disebut sebagai gimik belaka atau strategi marketing dari beberapa perusahaan teknologi. Progres metaverse dan cita-cita para pengembangnya untuk menciptakan dunia digital yang dapat menggantikan mayoritas interaksi sosial secara langsung dianggap sulit untuk bisa tercapai.

Associate Professor of Media and Public Affairs, George Washington University, Dave Karpf, menyatakan optimistis ruang virtual akan semakin berkembang dalam beberapa dekade ke depan. Pemanfaatan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) juga akan semakin meluas ke berbagai kalangan masyarakat.

Namun, konsep metaverse yang dua tahun ini banyak digaungkan para perusahaan teknologi dinilainya masih jauh dari kenyataan. Memindahkan mayoritas kegiatan manusia ke ruang virtual tidak semudah membalikkan telapak tangan.

“Saya memprediksi setidaknya di sekitar 2040 kita akan sudah memiliki teknologi VR dan AR yang sangat apik, tapi kita masih belum akan bisa sampai di konsep metaverse yang menurut saya sangat ambisius,” ujar Karpf, dilansir dari pewresearch.org, Kamis (30/6).

Karpf mengatakan teknologi VR dan AR akan memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat pada sekitar dua dekade ke depan. Namun, konsep metaverse dinilainya tetap hanya akan terbatas pada beberapa segmen, tidak mencakup semua kegiatan manusia.

 

Masih berpotensi

Pandangan tentang metaverse yang masih jauh dari kata berhasil juga disampaikan oleh Associate Professor School of Economic and Business Telkom University Andry Alamsyah. Namun, berbeda dengan Karpf yang cenderung pesimistis dan skeptis akan konsep metaverse, Andry masih yakin akan potensi metaverse.

Andry mengatakan tak bisa dimungkiri saat ini tren metaverse serta hal lain di ranah digital seperti aset kripto dan NFT tengah mengalami penurunan. Namun, hal itu diyakininya tak berlangsung selamanya. Ia yakin tren dunia digital baru tersebut akan kembali bangkit.

“Kita tahu dunia sedang mengalami resesi, jadi perekonomian dan hal-hal lain terkaitnya bergerak melambat. Jadi kalau saat ini trennya menurun, rasanya wajar, tapi kita optimistis ke depannya akan ngebut lagi saat ekonomi dunia membaik. Mungkin antara satu atau dua tahun lagi,” ujar Andry ketika dihubungi, Rabu (10/8).

Meski tak secepat yang ditargetkan banyak pihak ketika konsep metaverse sangat populer di tahun 2021, Andry mengatakan tetap ada progres dari pengembangan metaverse secara global. Metaverse tetap akan jadi teknologi yang dibutuhkan masyarakat dunia dalam beberapa tahun ke depan.

Metaverse secara umum teknologinya sangat dibutuhkan. Teknologi seperti metaverse dan NFT itu punya tempat yang spesifik karena teknologinya belum ada yang bisa menggantikan atau masih sangat baru dan berguna bagi masyarakat global. Jadi, cepat atau lambat trennya akan kembali bergerak cepat,” ujar Andry optimistis.

Andry mengatakan, tak bisa dimungkiri saat ini masih lebih banyak masyarakat dunia yang belum memahami dunia blockchain. Karena itu, tren mengenai metaverse jadi lebih sulit untuk bertahan seperti yang terjadi ketika konsep tersebut pertama kali muncul.

“Turun itu karena teknologinya belum practical atau masih belum banyak orang yang bisa mengadopsi, karena masih banyak orang yang belum paham blockchain dan hal-hal lain terkaitnya,” ujar Andry.

Dikatakan Andry, penurunan tren tersebut juga terjadi di skala lokal. Hal itu juga dianggapnya wajar karena di tingkat lokal perjalanan untuk mencapai pemanfaatan metaverse secara utuh masih akan jauh lebih panjang. “Kalau lokal sejak 2021 hingga saat ini rasanya masih masa-masa edukasi ke masyarakat. Jadi belum tentu mereka, para pengembang, bisa langsung, ibaratnya, berjualan,” ujar Andry.

Di dalam negeri, para pengembang umumnya masih berada di fase perencanaan dan pengembangan model metaverse yang akan digunakan. Mereka juga masih membutuhkan waktu untuk menciptakan atau menemukan teknologi yang tepat untuk keberhasilan metaverse tersebut.

“Karena teknologinya juga masih banyak yang belum matang dan mahal,” ujar Andry.

Di dalam negeri, tingkat literasi digital masyarakat juga masih belum maksimal. Karena itu, sosialisasi mengenai konsep teknologi seperti metaverse masih sangat perlu untuk dilakukan secara masif. Namun, Andry optimistis pada akhirnya masyarakat Indonesia akan lebih terbuka dan mulai membiasakan diri dengan berbagai teknologi berkonsep blockchain. Termasuk dalam memanfaatkan NFT dan menjelajah metaverse.

“Kalau kita masuk ke dunia digital, evolusi internet ke web 3.0 dan pengalaman imersif, itu nanti akan ke metaverse larinya cepat atau lambat. Bukan hanya di global, tapi juga di tingkat lokal,” ujar Andry.

Di Indonesia, tak sedikit perusahaan teknologi yang tengah berupaya membuat metaverse. Di antaranya Metaverse Indonesia yang tengah digarap oleh perusahaan bernama WIR Group.

Chief Marketing Officer WIR Group, Gupta Sitorus, mengatakan, pengembangan platform metaverse secara utuh membutuhkan waktu dan dukungan dari banyak pihak, termasuk pemerintah melalui regulasi dan infrastrukturnya.

Namun, dalam jangka pendek, masyarakat dapat menyaksikan purwarupa metaverse Indonesia saat perhelatan presidensi G-20 di Bali, November mendatang. "Sejauh ini kami optimistis mampu menyelesaikan proyek ini sesuai timeline," ujar Gupta dalam kesempatan terpisah.

Terkait tren metaverse yang tengah meredup, Gupta menilai bukan berarti pengembangannya melambat. Di beberapa negara bahkan pengaplikasiannya sudah mulai berjalan. Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang adalah negara-negara yang mulai mengaplikasikan metaverse di berbagai sektor. Dari perbankan, lifestyle, fesyen, hingga bisnis food and beverages.

“Tren metaverse di tingkat global sudah sedemikian pesat dan terus berkembang, terutama melalui AR dan VR yang telah diadopsi dalam berbagai aplikasi, antara lain melalui gaming. Kami percaya, metaverse adalah bagian dari evolusi internet web 3.0 yang merupakan suatu keniscayaan di masa depan. Inilah yang menjadi dasar bagi kami untuk terus berupaya mengembangkan teknologi metaverse karena pada dasarnya pengembangan teknologi digital secara global terus berakselerasi secara cepat," pungkas Gupta. (M-2)

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya