Songbird, Fiksi Ilmiah tentang Mutasi Virus Korona

Galih Agus Saputra
22/11/2021 11:45
Songbird, Fiksi Ilmiah tentang Mutasi Virus Korona
Official Trailer Songbird(Youtube STX Films)

Istilah protokol kesehatan (prokes) barang tentu tidaklah terdengar asing akhir-akhir ini. Istilah itu muncul dimana-mana, seturut dengan merebaknya pandemi Covid-19 di berbagai belahan dunia.  

Mereka yang peduli dengan kesehatan pribadi dan sekitar mungkin akan bersedia untuk melakukannya dimana saja. Meski tak dapat dimungkiri banyak juga yang mengabaikan, bahkan tak sedikit yang menggunakan tipu muslihat demi kepentingan masing-masing seperti yang dilakukan Nico dan Sara, tokoh dalam film Songbird (2020). Hubungan yang mereka jalin sebenarnya juga berjalan baik-baik saja, meski kondisi dan situasi di sekitar berjalan sebaliknya.

Songbird (2020) ialah film fiksi ilmiah. Sesuai dengan labelnya, sang sutradara, Adam Mason punya keleluasan untuk mengangkat berbagai macam persoalan atau kondisi di dalamnya. Tapi kembali lagi, jika menimbang relasi film sebagai produk kebudayaan atau film sebagai hiburan, budaya dan hiburan macam apa yang hendak disuguhkan lewat film tersebut?

Sebagai sedikit gambaran, film yang digadang-gadang muncul paling awal di masa pandemi atau lebih tepatnya pada Desember 2020 itu, menceritakan Nico (diperankan KJ APA) dan Sara (Sofia Carson), sebagai pasangan yang bertahan di tengah pandemi Covid-23. Virus itu direka sebagai mutasi terbaru dari Covid-19 di 2024.

Nico dinyatakan kebal dan ditandai dengan gelang khusus berwarna kuning. Sementara Sara, tidak memiliki imunitas atas virus tersebut dan harus melakukan karantina mandiri di apartemen. Pada masa tersebut, mereka yang melanggar kebijakan karantina akan dijemput paksa oleh pasukan bersenjata untuk dibawa ke Q-Zones, zona karantina yang tampaknya juga sudah mulai kumuh.

Pada suatu ketika, Lita, nenek yang tinggal bersama Sara dinyatakan positif Covid-23 lalu meninggal. Petualangan dimulai setelahnya. Pasukan bersenjata akan segera menjemput Sara, termasuk jenazah sang nenek. Nico yang tak mau Sara dibawa ke Q-Zones, lantas memanfaatkan 'relasinya' untuk mendapatkan gelang kuning untuk Sara.

Pada titik ini, sudah dapat dipahami bahwa pasangan tersebut hendak melarikan diri dari kebijakan karantina. Alasan kuat yang mendasari tindakan mereka berdua: apalagi kalau bukan cinta? Lalu, apakah tindakan demikian dapat dibenarkan?  Pemangku kepentingan di suatu negara tentu mengeluarkan kebijakan karantina untuk kepentingan dan kesehatan publik atau masyarakatnya. Sementara urusan cinta, dalam konteks ini hanya menyangkut urusan privat antara Nico dan Sara.

Meski begitu, upaya mencegah penularan penyakit kali ini boleh dibilang terlampau ekstrem juga. Mengapa harus menggunakan angkatan bersenjata? Jika masyarakat, yang secara massal menjadi penyintas Covid-23 seketika berubah menjadi kacau, akankah mereka berubah menjadi pasukan yang menembaki warganya juga?

Namun, di sisi lain, kisah kali ini sebenarnya juga dapat menjadi semacam pengingat akan kondisi di kehidupan yang sesungguhnya. Tentu tak sedikit pasangan, orangtua, atau siapa saja yang kehilangan orang terdekat sepanjang pandemi Covid-19. Tak kurang juga cucuran keringat para ahli dan tenaga kesehatan yang berjibaku di tengah lautan virus, demi keselamatan banyak orang Lazimnya di tengah musibah, ada saja pejabat korup yang mengambil kesempatan dalam kesulitan. Seperti Kepala Departemen Kesehatan, Emmett (diperankan Peter Stormare), yang berkonspirasi dengan William (Bradley Whitford) untuk menjual gelang kuning secara ilegal pada mereka yang menginginkan status kebal virus.

Songbird (2020) yang mulai tayang di bioskop Tanah Air sejak 19 November lalu, sebenarnya adalah film yang memberikan contoh buruk bagi penontonya. Bagi Nico dan Sara, melanggar prokes bukanlah suatu masalah. Sementara bagi Emmet dan William, mereka yang melanggar prokes harus ditindak secara keras, meski juga dapat dicarikan 'jalan keluar' asal ada duitnya.

Meski begitu, pembangunan karakter dalam film ini boleh dibilang cukup menarik. Tidak ada tokoh yang sepenuhnya benar, dan tidak ada tokoh yang sepenuhnya salah. Ketidakjelasan ini lah yang sesungguhnya menjadi semacam pemantik bagi penonton untuk merenungkan kembali bagaimana perilakunya sepanjang pandemi Covid-19 melanda.

Namun, tidak ada salahnya juga jika banyak penonton yang kemudian mempertanyakan empati Adam yang menulis cerita bersama Simon Boyes. Toh, dalam situasi pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia, mereka tetap menyuguhkan 'mutasi baru' dengan penanggulangan yang lebih lama dari pandemi sesungguhnya atau setidaknya hingga 2024 mendatang. (M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya