SUDAH satu tahun lebih negeri ini dilanda pandemi global virus korona. Pemerintah pun tak pernah lelah melakukan berbagai upaya demi menekan kasus covid-19, seperti menggencarkan program vaksinasi, menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro, dan menyosialisasikan penerapan protokol kesehatan. Setelah sempat melandai, belakangan ini angka kasus covid-19 meningkat lagi dan semakin mengkhawatirkan. Hal tersebut salah satunya dipicu oleh tradisi mudik Lebaran. Padahal, saat itu larangan mudik diberlakukan oleh pemerintah, tetapi tetap saja banyak yang membandel.
Karena itu, pemerintah mengimbau masyarakat yang merasa mudik ke kampung halaman pada Idul Fitri tahun ini untuk melakukan isolasi mandiri setelah pulang ke domisili tempat tinggal. Bukan hanya pemudik, setiap orang yang baru bepergian dari luar kota atau luar negeri pun harus menjalani isolasi mandiri. Semua itu demi mencegah risiko penularan covid- 19 di lingkungan sekitar, terutama keluarga.
Imbauan pemerintah kepada pemudik untuk melakukan isolasi mandiri pun tertuang seperti dalam judul berita berikut: ‘ Pendatang di Babel Wajib Isoman 5x24 Jam’ (Antara, 22/5), ‘Kapolres Agam Minta Pemudik Isoman Sesampai di Kampung’ (Haluan, 5/5), dan ‘Siap-siap, Balik Mudik tak Ada Swab Negatif akan Isoman di Jakbar’ (Viva, 15/5).
Dari judul-judul berita tersebut, ada hal yang menarik perhatian saya, yakni akronim isoman. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, isoman merupakan kependekan dari isolasi mandiri. Alih-alih menggunakan frasa isolasi mandiri, belakangan ini orang-orang bahkan media massa pada umumnya lebih suka dan sering memakai istilah isoman atau isman.
Serupa halnya dengan isoman atau isman. Prokes pun demikian. Khalayak dan media massa lebih sering menggunakan istilah prokes ketimbang protokol kesehatan. Pun dengan istilah tilang. Umumnya orang lebih sering menyebut tilang daripada bukti pelanggaran. Padahal, tidak semua orang tahu kepanjangan dari tilang itu sendiri. Ada juga bimas, kependekan dari bimbingan massal/masyarakat, hansip (pertahanan sipil), dan puskesmas (pusat kesehatan masyarakat).
Awalnya akronim memang diperlukan di dalam bahasa militer demi kerahasiaan dan menghindari salah paham. Kebiasaan yang berlaku di militer itu kemudian menjadi sebuah ‘penyakit menular’, berjangkit ke khalayak.
Akronim pun semakin mendapat tempat dalam penggunaannya di masyarakat. Semakin beragamnya bentuk akronim atau pemendekan menjadi salah satu bukti berkembangnya bahasa. Selain itu, budaya gampang dan membuat orang enak mengucapkan suatu kata itulah yang menjadikan begitu banyak akronim dalam bahasa Indonesia.
Namun, bila hal ini dibiarkan terus-menerus, dampaknya bisa jadi sebagian besar kata dalam bahasa Indonesia akan terdiri atas akronim. Akibatnya, generasi penerus pun tidak mengetahui lagi asal-usulnya dan dianggap sebagai sebuah kata utuh.
Alangkah baiknya bila kita dapat mengurangi produksi akronim dan membatasi pada hal-hal yang perlu saja. Bukan berarti menggunakan akronim itu tidak baik dan tidak bermanfaat. Akronim dapat memperkaya, tapi tentu ada pedoman bakunya dan perlu konsistensi.
Di samping itu, sejatinya harus ada semacam kamus akronim yang digunakan sebagai rujukan. Lebih elok lagi jika kamus itu dilengkapi dengan kata pembentuk setiap akronim yang ada di dalamnya agar orang-orang tidak lupa atau bahkan menjadi tahu kata aslinya.
Isoman

Dok. Pribadi
Farhatun Nurfitriani Staf Bahasa Media Indonesia
Baca Juga
Kabar Baik, Jumlah Populasi Badak di Afrika Mulai Meningkat
Kabar Baik, Jumlah Populasi Badak di Afrika Mulai...
Perjalanan Grrrl Gang Menemukan Harapan di Album Spunky!
Meski secara nuansa Spunky! banyak membawa tema yang begitu depresif, tetapi Angee mengungkapkan pesan yang ingin disampaikan adalah proses...
Kreator Game of Thrones Gugat OpenAI Terkait Penggunaan Karya Cipta
Gugatan tersebut mengklaim OpenAI, perusahaan di balik chatbot viral ChatGPT, menyalin karya-karya penulis terkenal dalam tindakan...