Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Ketika Pelatih Tersingkir

Adang Iskandar Redaktur Bahasa Media Indonesia
28/2/2021 04:00
Ketika Pelatih Tersingkir
Adang Iskandar Redaktur Bahasa Media Indonesia(Dok. Pribadi)

DI saat kompetisi sepak bola di beberapa negara sudah mulai digelar--walaupun tanpa penonton langsung di lapangan, publik pecinta sepak bola Tanah Air memang tengah bertanya-tanya kapan Liga 1 2021 bergulir lagi. Terlebih setelah PSSI memutuskan untuk memberhentikan Liga 1 2020-2021 lantaran tak kunjung mendapatkan izin dari pihak kepolisian.

Kabar yang beredar baru-baru ini, Liga 1 akan digelar pada Juni 2021 mendatang. Tentu masyarakat Indonesia senang mendapat kabar itu. Meskipun belum bisa langsung menyaksikan di lapangan, tontonan sepak bola di televisi ibarat hiburan yang menyegarkan di tengah pandemi covid-19.

Namun, di sisi lain, ada satu hal yang ‘mengganjal’ di hati ketika menyaksikan siarang langsung kompetisi sepak bola Tanah Air di televisi. Jadi, kalau Liga 1 bergulir lagi nanti dan disiarkan langsung di televisi, ‘yang mengganjal’ itu akan kembali menyapa saya. Maaf, bukan berarti saya tidak ingin Liga 1 digelar lagi dan disiarkan secara langsung di televisi.

Namun, dalam siaran sepak bola itu, saya lagi-lagi akan menyaksikan bagaimana salah satu kata bahasa Indonesia, pelatih, terdegradasi oleh kata bahasa Inggris coach. Pembawa acara siaran langsung itu hampir tak pernah menyebut kata pelatih untuk merujuk kepada orang yang melatih klub sepak bola yang tengah bertanding. Mereka lebih bangga dengan kata coach, alih-alih kata pelatih.

Dampaknya pun sangat luar biasa. Saat sebelum pandemi covid-19 merebak, saya menyaksikan pertandingan sepak bola antarkampung di desa tempat kelahiran saya. Saya kaget sekaligus merasa geli saat si pembawa acara pertandingan (dengan ciri khasnya menggunakan pelantang) mewawancarai salah satu pelatih klub yang akan ber tanding. Si pembawa acara bertanya, “Apakah coach yakin timnya bisa menang kali ini?” Wow, dia menggunakan kata coach.

Sebenarnya, media massa seperti koran di Tanah Air jarang yang mengakomodasi kata coach. Sebutan juru taktik atau juru racik lebih sering digunakan untuk menggantikan kata pelatih. Sayangnya, para pembawa acara sepak bola di televisi ternyata lebih gemar menggunakan kata coach.

Lalu, apa sikap kita terkait dengan kasus-kasus tersebut? Saya pribadi tidak menyalahkan para penutur bahasa Indonesia yang lebih suka menggunakan kata coach ketimbang kata pelatih.

Saya hanya menyayangkan karena kata bahasa Inggris itu ‘dicetuskan’ di acara televisi yang menjangkau audiens masyarakat penutur bahasa Indonesia yang sangat banyak, dari anak-anak hingga orang tua. Tentu itu sangat berpengaruh pada sikap mereka, terutama generasi muda, terhadap bahasa Indonesia. Dalam kasus ini, bahasa Indonesia terkesan ‘lebih rendah’ daripada bahasa Inggris. Padahal, sikap bangga berbahasa Indonesia harus ditanamkan sejak dini kepada anakanak muda negeri ini. Sikap positif itu yang nantinya bakal mengangkat harkat dan martabat bahasa Indonesia.

Saya juga tidak ingin karena masifnya penggunaan kata coach, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lalu mengakomodasinya ke dalam bahasa Indonesia melalui penyerapan kata bahasa asing. Lalu dimasukkanlah lema koch yang berarti pelatih. Jangan sampai terulang seperti lema karteker yang diserap dari kata caretaker (bahasa Inggris) untuk makna orang yang menjabat sementara. Bahasa Indonesia masih punya kosakata penjabat atau pejabat sementara yang biasa disingkat pj atau pjs.

Barangkali kita harus merenungkan kembali pesan berikut: utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya