Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pudentia Maria Purenti Sri Sunarti Optimisme Pantu setelah Pengaku

PUTRI ROSMALIA
27/12/2020 05:05
Pudentia Maria Purenti Sri Sunarti Optimisme Pantu setelah Pengaku
(Dok.Mi/Duta)

DENGAN ditetapkannya pantun sebagai Warisan Budaya tak Benda (WBTB) pada 17 Desember 2020, Indonesia telah memiliki 11 tradisi budaya yang diakui oleh UNESCO. Berkaca dari sebelum-sebelumnya, penetapan status dari badan PBB tersebut memang bisa melesatkan pamor tradisi budaya yang bersangkutan. Di sisi lain, status itu bukan berarti menjawab berbagai tantangan yang ada.

Batik, misalnya, meski kembali digandrungi masyarakat, permasalahan regenerasi pembatik maupun membanjirnya batik printing dari luar negeri juga tetap berlanjut hingga kini. Lalu apa dampak yang bisa diharapkan dari penetapan WBTB untuk pantun? Serta apa pekerjaan besar kita selanjutnya setelah penetapan dari UNESCO itu?

Berikut penuturan Pudentia Maria Purenti Sri Sunarti, Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan, salah satu penggagas awal pengajuan pantun sebagai WBTB ke UNESCO, dalam
wawancara dengan Media Indonesia, Selasa (22/12).

Bagaimana proses pengajuan pantun sebagai WBTB ke UNESCO?

 

Pada 2016, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) didukung oleh Pemprov Riau dan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau mengusulkan itu (pantun) sebagai nominasi bersama (joint nomination) Malaysia pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud), lalu didukung penuh disetujui ke UNESCO.

Pertimbangan kami adalah bahwa Indonesia itu hanya boleh dua tahun sekali mengajukan nominasi WBTB-nya kalau sebagai nominasi sendiri (single nomination). Saat itu yang sedang dalam proses pinisi. Kalau 2017 pinisi masuk, 2018 itu kosong. Jadi aturannya itu boleh masukkan nominasi di 2018 kalau itu joint nomination atau multinasional. Jadi untuk mengisi kekosongan tahun 2018, saya usulkan pantun.

Pengajuan itu waktunya sangat terbatas, ketika Kemendikbud sudah sepakat lalu ATL mulai menjalankannya. Bersama Ketua ATL Riau yang kebetulan ketuanya itu juga Ketua Lembaga Adat Melayu dan wakilnya Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di sana, yang kebetulan juga Pengurus ATL, jadi bisa segera berjalan.

Jadi pergerakan pertama itu kita juga melakukan pertemuan dengan Dubes Indonesia di UNESCO di kediaman Guber nur Riau. Pertemuan dilakukan oleh ATL, Dubes UNESCO, ATL Riau, Lembaga Adat Riau, dan pihak Malaysia. Kami juga melanjutkan ke pihak-pihak terkait, seperti badan bahasa. Kami juga mengikutsertakan komunitaskomunitas di daerah, khususnya di Riau. Lalu, Maret 2017, kami kirim peng ajuannya ke UNESCO untuk disidangkan pada 2018. Namun, pada 2018 di Mauritius sebelum disidangkan, ada masukan-masukan atau referral yang diberikan oleh evaluation body dari UNESCO. Perbaikannya harus masuk pada 2019 supaya 2020 bisa di sidangkan. Dulu sempat ada isu gagal, bukan gagal, tapi harus diperbaiki untuk kemudian disidangkan dan ditetapkan pada 2020.

Mengapa mengusulkan pantun, apa latar belakangnya?


Pada awalnya memang banyak yang mempertanyakan, mengapa pantun karena bahkan pantun dianggap ecek-ecek, hanya berupa dua baris depan pertama sebagai sampiran dan dua baris belakang berikutnya sebagai isi. Kadang rimanya juga campur-campur dan terkesan biasa saja. Padahal saya melihat bahwa pantun adalah sesuatu yang sangat berharga.

Pantun itu adalah salah satu tradisi lisan Melayu yang menjangkau banyak pihak. Orang tua, orang muda, semua bisa pakai pantun dan karyanya luas. Pantun ini peninggalan tradisi lisan Melayu yang tersebar ke mana-mana, mengatasi tidak hanya geobudaya, tetapi juga geopolitik. Jadi, tidak hanya di Indonesia, tetapi negara-negara yang juga menggunakan bahasa Melayu, seperti Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand Selatan.

Seberapa penting pengakuan UNESCO untuk upaya pelestarian?


Warisan budaya itu, ketika diakui oleh UNESCO, itu jadi memungkinkan untuk menjadi lebih hidup di negeri kita sendiri. Jadi lebih dihargai dan diperhatikan lagi.

Peran pantun dalam kehidupan kita itu sebenarnya bagaimana?


Pantun itu selain sebagai media komunikasi, juga bisa sebagai hiburan, sarana pendidikan, media untuk menegur, mengkritik dengan lebih baik tanpa menyakiti. Pantun ini juga mengingatkan kita lagi bahwa tutur itu ternyata punya aturan. Bertutur tidak sembarangan, ada keterkaitan dengan alam lingkungan kita dengan apa yang mau kita sampaikan.

Kita lebih menghargai akhirnya bagaimana nenek moyang kita dan para maestro tradisi pada masa dulu bisa mengombinasikan apa yang ada di lingkungan dengan apa yang mau mereka sampaikan. Tidak mudah, jadi kalau bicara itu jangan sembarangan saja, ternyata ada aturannya. Sehingga misalnya kita mau membuat kritik atau komentar itu tidak perlu menyakiti hati orang.

Misalnya, ada pantun: Pisang mas dibawa berlayar, masak sebiji di atas peti. Hutang mas boleh dibayar, hutang budi dibawa mati. Kenapa pisang mas? Sekarang setelah ada covid-19 orang tahu pisang mas banyak sekali manfaatnya. Ketika kita pergi berlayar tak selalu dapat makanan. Jadi kalau kita bawa pisang mas yang masih hijau, nantinya
dia akan bertahap masaknya di dalam peti.

Lalu lanjutannya itu kaitannya dengan peti. Kenapa peti, karena mati itu dipetikan. Jadi sebetulnya kaitannya ada. Jadi tak sembarangan a-b-a-b saja, itu kalau yang pantun bukan sekadar pantun. Jadi antara sampiran dan isi semuanya merupakan fi losofi orang Melayu tentang kepedulian mereka pada lingkungan dan alam, dan juga pemahaman yang begitu luar biasa pada alam dan ciri yang ada di lingkungan untuk masuk sebagai sarana pendidikan, kritik, peyampai gagasan. Itu peran penting pantun.

Bagaimana persebaran seniman pantun sekarang ini?


Umumnya di wilayah-wilayah yang memakai bahasa Melayu. Namun, pantun itu tidak hanya yang berbahasa Melayu. Ada di banyak daerah lain, seperti Sulawesi Tenggara, Ambon, Maluku, Jawa, Bali, Kalimantan, ada semua dengan bahasa masing-masing. Jadi senimannya juga tersebar di berbagai daerah. Jadi memang cukup tersebar, tetapi memang lebih banyak yang ditemukan di daerah seperti Kepulauan Riau, Riau, dan Sumatra Barat, Bangka, Jambi, Bengkulu, dan beberapa di Sumatra Utara.

Kalau dari usia, regenerasinya cukup baik. Saya melihat bahwa di berbagai daerah, kalau ada kegiatan, anak-anak muda kerap tampil membawakan pantun. Memang maestro pantun itu umumnya sudah tua, tetapi anak-anak muda penerusnya banyak. Bahkan di wilayah seperti Tanjung Pinang, sangat banyak seniman pantun anak-anak yang rutin tampil di berbagai acara. Kalau di Jawa, biasanya di Jawa Timur dan DKI Jakarta yang masih banyak seniman pantun. Khususnya di DKI Jakarta, tradisi palang pintu yang memuat pantun ketika pernikahan masih sangat kuat dan sering digunakan.

Di era medsos ini banyak penggunaan pantun sebagai gurauan, apakah itu tetap bisa dianggap upaya pelestarian?


Iya pastinya. Hal itu juga menjadi yang kami buat untuk meyakinkan UNESCO ketika mengajukan pantun sebagai WBTB. Kami tekankan bahwa pantun ini masih dan akan bisa terus hidup. Karena ketika ingin menetapkan, UNESCO harus yakin bahwa warisan itu nantinya akan bisa terlindungi dengan baik. Tidak hanya oleh negara atau komunitas tertentu, tapi juga oleh masyarakat negara asalnya. Sekarang bahkan sering kita lihat orang bergurau dengan pantun di media sosial. Tidak apa-apa juga, itu bagus saja, meski tak seperti konsep atau fi losofi awal pantun orang Melayu dahulu. Itu menandakan euforia yang bagus terhadap pantun itu sendiri dan membuktikan pantun bisa dipakai dalam berbagai aspek kehidupan.

Bagaimana Anda melihat upaya pengenalan dan pelestarian pantun di sekolah?


Di beberapa SMA di Jakarta saya tahu ada yang sudah memasukkan materi khusus soal pantun dalam pembelajaran. Jadi kelihatannya sudah ada upaya itu, tapi kelihatannya
belum memberi tempat yang lebih. Dengan penetapan dari UNESCO ini diharapkan akan ada usaha yang lebih besar untuk melestarikan pantun. Misalnya, semoga kepala dinas pendidikan jadi lebih banyak menyertakan materi pantun dalam muatan kurikulum mereka di sekolah-sekolah. Karena penyertaan pantun dalam kurikulum pendidikan itu sangat penting dilakukan.

Apa yang selanjutnya harus dilakukan agar seni pantun semakin hidup?


Dalam kehidupan kita itu kan pasti ada berbagai ritual. Mulai dari kandungan lahir, kawin, dan ritual kehidupan lainnya. Semua ritual kehidupan itu bisa disampaikan dengan pantun. Misalnya tujuh bulanan ada pantun, perkawinan gunakanlah pantun. Itu salah satu upaya untuk melestarikan dan meremajakan pantun. Lalu juga bisa dilakukan dengan menyematkan pantun dalam berbagai kegiatan masyarakat, misalnya di pidato, pembukaan acara, bisa kita hadirkan pantun yang beragam. Bahkan menciptakan sendiri juga bisa dilakukan dan bisa dibuat dengan bahasa daerah masing-masing. Jadi sangat banyak caranya. Bisa untuk memberi pesan, ucapan selamat datang, atau hiburan. Apalagi pantun itu tidak hanya bertutur, tapi juga bisa disampaikan di dalam lagu, ketika pentas, dan berbagai kesempatan lain. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya