Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
PERUBAHAN iklim dikhawatirkan berdampak pada perubahan habitat atau kondisi di suatu daerah. Pulau karang yang dekat dengan laut, misalnya, dikhawatirkan akan tenggelam seiring dengan kenaikan muka air laut. Bahkan, hal itu bisa menjadi malapetaka bagi negara dengan wilayah pulau kecil seperti Kiribati dan Tuvalu.
Namun, kekhawatiran itu sedikit mereda. Menurut studi terbaru, pulau tersebut 'naik' secara alami bersamaan dengan naiknya permukaan laut. Hal itu disebabkan penumpukan sedimen yang didorong gelombang air laut. Adaptasi atas kenaikan muka air laut itu, terjadi di pulau kecil dan dataran rendah yang tersebar di sekitar Pasifik dan Karibia.
Peneliti dari University of Plymouth menghabiskan waktu 3 tahun untuk mengamati pulau-pulau terumbu karang, seperti yang ada di Maladewa dan Kepulauan Marshall. Mereka menemukan pasang-surut air laut ternyata menggerakkan sedimen ke daratan. Tumpukan sedimen itu lalu membuat daratan naik lebih tinggi.
"Wacana dominan adalah bahwa sebuah pulau akan tenggelam akibat perubahan iklim. Dan hasil dari itu adalah pertahanan (garis) pantai dan relokasi ... Kami pikir ada lebih banyak lintasan (cara bertahan) untuk pulau," kata ahli geomorfologi University of Plymouth Gerd Masselink sebagaimana dilansir South China Morning Post, Jumat (19/6).
Negara-pulau berdataran rendah dinilai berisiko dengan semakin kuatnya badai dan meningkatnya muka air laut. Solusi yang kerap diajukan adalah pembangunan tanggul laut, relokasi permukiman dari bibir pantai, dan perbaikan ekosistem pesisir.
Menurut Masselink, memang puluhan ribu pulau terumbu karang dunia sebagian besar tidak berpenghuni. Namun, ada pula yang dihuni. Sedangkan pulau kecil yang berpenghuni, penduduknya bergantung pada industri pariwisata.
Secara garis besar, pulau-pulau kecil itu adalah dataran rendah berpasir atau berkerikil yang berada di atas platform terumbu karang hidup. Meskipun demikian, pulau-pulau tersebut memang memiliki struktur yang berbeda satu sama lain karena pengaruh cuaca dan pola gelombang yang juga berbeda.
Pulau-pulau itu sudah terbentuk sejak ratusan ribu tahun yang lalu oleh gerak gelombang dan timbunan material karang ataupun sedimen, hingga menciptakan daratan yang lebih tinggi. Menurut Masselink, hal itu adalah mekanisme pertahanan alami yang terus berlanjut.
Studi itu diterbitkan dalam Jurnal Science Advances. Para peneliti juga membangun model terumbu karang dan pulau plus simulasi kenaikan air laut. Mereka lalu menggunakan komputer untuk mereplikasi respons pulau tersebut terhadap muka laut yang lebih tinggi.
Hasilnya, penduduk pulau dengan ruang yang cukup dapat beradaptasi dengan lingkungan yang berubah dengan memilih infrastruktur tahan iklim yang memungkinkan banjir sesekali, seperti bangunan di atas panggung dan rumah yang dapat dipindahkan. Selain itu, pengerukan pasir dan sedimen karang di laguna pulau lalu memindahkannya ke pantai juga dapat membantu proses alami meningkatkan kepulauan tersebut.
Sebaliknya, yang harus diwaspadai adalah dinding laut karena bisa membahayakan kemampuan alami pulau untuk menyesuaikan diri dengan naiknya permukaan laut.
"Jika Anda menghentikan banjir (rob) di pulau, Anda juga menghentikan pergerakan endapan pada pulau," kata Masselink.
Hideki Kanamaru dari FAO PBB mengatakan, studi itu bisa memberikan perspektif baru tentang bagaimana negara-negara kepulauan bisa mengatasi tantangan kenaikan permukaan laut. Tetapi, bahkan jika pulau-pulau dapat beradaptasi secara alami dengan laut yang lebih tinggi dengan menaikkan puncaknya sendiri, manusia masih perlu menggandakan perlindungan dari pemanasan global dan bagi populasi pulau. (M-4)
Mencairnya gletser memuci letusan gunung api yang lebih sering dan eksplosof, yang memperparah krisis iklim.
Penelitian terbaru mengungkap hilangnya hutan tropis menyebabkan pemanasan global berkepanjangan setelah peristiwa Great Dying 252 juta tahun lalu.
Pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca meningkat, anggaran karbon Bumi diperkirakan akan habis dalam waktu 3 tahun ke depan.
Meski dunia menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat celcius, pencairan lapisan es di dunia tetap melaju tak terkendali.
Peningkatan suhu juga sangat dipengaruhi oleh emisi gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Penyebab Pemanasan Global: Faktor & Dampak Buruknya. Pemanasan global mengkhawatirkan? Pelajari penyebab utama, faktor pendorong, dan dampak buruknya bagi bumi. Temukan solusinya di sini!
Studi ungkap letusan vulkanik Franklin dan pelapukan batuan cepat 720 juta tahun lalu memicu peristiwa Snowball Earth yang membekukan seluruh planet.
Tahun 2023 catat gelombang panas laut terbesar dan terlama. Fenomena ini rusak ekosistem, ganggu perikanan, dan jadi sinyal titik balik iklim.
Penelitian ungkap lahan gambut Amazon Peru berubah dari penyerap karbon menjadi netral karbon akibat cahaya berlebih dan penurunan muka air.
ICJ mengeluarkan putusan bagi negara-negara untuk saling menggugat terkait perubahan iklim.
Indonesia menghadapi ancaman krisis planetari, termasuk perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
INDONESIA memperkuat posisinya menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 yang ditegaskan dalam Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved