Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

38 Juta Tahun Terkubur, Fosil Ular Ini Masih Utuh!

Muhammad Ghifari A
05/6/2025 20:15
38 Juta Tahun Terkubur, Fosil Ular Ini Masih Utuh!
Fosil ular terkubur dalam lumpur purba(Freepik)

PENEMUAN luar biasa berhasil dicapai oleh para peneliti di Wyoming: empat fosil ular yang terawetkan secara utuh dan diperkirakan berusia sekitar 38 juta tahun.

Fosil-fosil ini—yang mencakup tengkorak, tulang rusuk, hingga bagian ekor—terpendam dalam lapisan sedimen dari awal periode Oligosen, masa ketika iklim dingin mulai mendominasi Amerika Utara.

Keempat spesimen tersebut ditemukan dalam lapisan tanah liat halus, menunjukkan bahwa kematian mereka terjadi dalam waktu yang berdekatan.

Awalnya, para ilmuwan menduga bahwa fosil-fosil tersebut berasal dari genus ular yang telah dikenal, seperti Ogmophis atau Calamagras.

Namun, analisis mendalam terhadap morfologi rahang, susunan gigi, serta struktur tulang belakang mengungkapkan perbedaan signifikan dan konsisten antarspesimen. Temuan ini cukup kuat untuk mengklasifikasikan keempat fosil sebagai spesies baru, yang kemudian dinamai Hibernophis breithaupti.

Ular-ular prasejarah ini berukuran relatif kecil, dengan panjang hanya beberapa kaki. Spesimen terbesar memiliki ukuran dua kali lipat dari yang terkecil, memungkinkan ilmuwan mendapatkan gambaran langka mengenai perbedaan morfologis antara fase remaja dan dewasa dalam satu spesies.

Michael Caldwell dari Fakultas Sains, Universitas Alberta, menyampaikan kekagumannya terhadap kondisi luar biasa fosil-fosil tersebut. Ia menyebut penemuan ini sangat langka, mengingat kebanyakan museum hanya memiliki potongan-potongan tulang ular yang tidak tersambung.

Fosil-fosil ini menyajikan kerangka utuh lebih dari 200 ruas tulang belakang, lengkap dengan tulang rusuk dan tengkorak, memberikan wawasan mendalam tentang evolusi tubuh ular dari kepala hingga ekor.

Untuk menelusuri garis keturunan evolusioner, tim peneliti menggabungkan data morfologi dengan urutan DNA dari spesies ular modern. Analisis tersebut menempatkan Hibernophis dalam kedekatan evolusi dengan kelompok boa modern—yang mencakup spesies pemanjat, penghuni pasir, hingga ular berukuran besar.

Caldwell menjelaskan bahwa hasil analisis ini memperluas pemahaman terhadap evolusi keluarga Boidae.

“Menariknya, temuan ini mengindikasikan bahwa leluhur mereka berukuran kecil,” ujarnya.

Keberadaan genus baru di luar cabang boa masa kini memperkuat dugaan bahwa diversifikasi keluarga boa telah dimulai sejak awal Oligosen.

Pola pertumbuhan yang terlihat pada fosil juga memberikan informasi penting. Ular terkecil memiliki tengkorak sepanjang hampir setengah inci, sedangkan yang terbesar menunjukkan struktur rahang yang menebal dan penyatuan sendi. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa nenek moyang boa dulunya berukuran sedang sebelum berevolusi menjadi ular raksasa sebagaimana yang dikenal saat ini.

Penemuan Hibernophis yang mencakup struktur tulang belakang utuh memungkinkan para peneliti mengaitkan bentuk ruas tulang tertentu dengan aspek kehidupan spesifik, memperdalam pemahaman tentang perilaku dan ekologi ular purba.

Salah satu aspek paling mencolok dari temuan ini adalah posisi keempat fosil saat ditemukan: melingkar satu sama lain dalam pola yang menyerupai hibernaculum—tempat perlindungan musim dingin yang digunakan bersama.

Caldwell menekankan bahwa formasi ini merupakan indikasi perilaku sosial, sesuatu yang jarang diamati pada reptil.

“Dari sekitar 15.000 spesies reptil modern, hampir tak satu pun yang berhibernasi seperti ular garter,” jelasnya. Hal ini menunjukkan bahwa strategi berkumpul untuk menjaga suhu tubuh kemungkinan sudah ada sejak jutaan tahun lalu.

Kondisi pelestarian luar biasa pada fosil-fosil ini disebabkan oleh aktivitas vulkanik. Abu vulkanik membentuk lapisan kedap udara di atas liang tempat ular bersembunyi, memperlambat proses pembusukan.

“Partikel-partikel tersebut terperangkap dalam kondisi geologis yang sangat unik,” terang Caldwell.

Lapisan abu vulkanik yang berselang-seling dengan semburan lumpur akibat hujan musiman mengurung kerangka-kerangka tersebut di dalam Formasi Sungai Putih.

Banjir ringan yang menyusul kemudian menyumbat liang-liang dengan lumpur, menjaga fosil tetap utuh hingga akhirnya ditemukan oleh para penambang. “Fosilisasi adalah proses yang kompleks dan hanya terjadi dalam kondisi yang sangat ideal,” tutup Caldwell, menekankan betapa langkanya temuan ini. (Live Science dan Earth.com/Z-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana
Berita Lainnya