Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
FOSIL daun palem yang ditemukan di Alaska ini dapat dilihat di Museum Sejarah Alam Nasional Smithsonian. Penemuan ini mampu menunjukkan perubahan suhu di bumi selama hampir 500 juta tahun.
Dilansir dari Smithsonian Magazine, puluhan juta tahun yang lalu banyak tumbuhan termasuk palem, tumbuh di tempat-tempat seperti Alaska yang suhunya terlalu dingin.
Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal Science memberikan gambaran kepada para ilmuwan tentang kapan bumi hangat dan kapan bumi dingin selama 485 juta tahun terakhir.
Baca juga : Pakar Geologi UGM: Keberadaan Sesar Aktif Penyebab Rentetan Gempa Sulit Dipetakan
Akibat volume besar gas rumah kaca, iklim bumi saat ini mengalami pemanasan global yang menyebabkan fenomena seperti kebakaran hutan menjadi lebih umum.
Melihat fenomena perubahan iklim ini, ahli geologi dan paleontologi mencari catatan fosil untuk menggali data tentang suhu prasejarah dengan menggabungkan model iklim. Penelitian tersebut menghasilkan sejarah perubahan iklim bumi yang terus-menerus selama 485 juta.
Para peneliti memperkirakan suhu prasejarah dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa ilmuwan mengamati inti es dengan gelembung udara yang terperangkap di dalamnya, Isotop oksigen dalam lapisan batuan prasejarah, bandingkan fosil satu sama lain, bahkan anatomi daun yang membatu dapat bertindak sebagai proksi suhu.
Baca juga : Kapolda Metro Jaya: 7 Mayat di Kali Bekasi Diduga Menceburkan Diri Usai Ditegur Polisi
Paleoklimatolog dari Universitas Arizona yang tergabung dalam penelitian ini pada tahun 2020, Emily Judd mengatakan bahwa langkah awal mereka adalah mengumpulkan semua bukti atau data secara bersamaan.
"Bersama dengan beberapa lusin anggota komunitas paleoklimat, kami membangun basis data lebih dari 150.000 perkiraan suhu kuno," ungkap Judd dikutip dari Smithsonian Magazine.
Untuk mengungkap gambaran besar dari bukti atau data yang telah dikumpulkan, para kolaborator proyek dari University of Bristol di Inggris membuat lebih dari 850 simulasi model iklim tentang kondisi selama Fanerozoikum dengan menggabungkan estimasi suhu dan simulasi iklim.
Baca juga : Dataran Tinggi Dieng Diusulkan Jadi Taman Bumi Nasional
Hasilnya mencakup suhu bumi selama 485 juta tahun terakhir rata-rata berkisar antara 51,8 derajat Fahrenheit hingga 96,8 derajat Fahrenheit selama Fanerozoikum dengan kisaran suhu yang lebih hangat secara keseluruhan daripada dalam suhu yang dingin.
"Pelajaran utama yang kami peroleh dari kurva ini adalah bahwa suhu permukaan Bumi cukup bervariasi. Suhu permukaan rata-rata planet kita tidak mendekati titik pusat, tetapi malah berubah menjadi periode yang sangat panas dan sangat dingin selama 485 juta tahun terakhir," ungkap Wing, salah satu penulis dalam laporan penelitian dikutip dari Smithsonian Magazine.
Ahli paleoklimatologi dari Universitas Leeds, Benjamin Mills mengatakan suhu hangat selama 485 juta tahun terakhir terkait erat dengan karbon dioksida (CO2). Ketika karbon dioksida di atmosfer meningkat, suhu pun meningkat.
Baca juga : Jejak Purba di Gua Genovesa, Ungkap Rahasia Jembatan Batu 6.000 Tahun di Mallorca
“Suhu global yang stabil dan tingkat CO2 sebelum kepunahan sangat penting, karena ini adalah lingkungan tempat organisme pada saat itu beradaptasi dengan baik,” ungkapnya.
Judd menambahkan, tingkat pemanasan iklim Bumi sangat mengkhawatirkan karena dapat menyebabkan kepunahan massal.
"Tingkat perubahan iklim memainkan peran penting dalam hasil ekologis. Pemanasan bertahap yang terjadi selama jutaan tahun memberi tekanan pada organisme untuk bergerak, berevolusi, atau punah, tetapi adaptasi terhadap suhu yang lebih hangat adalah mungkin. Apa yang dilakukan manusia sekarang lebih mirip dengan momen seperti kepunahan massal akhir Permian, ketika letusan gunung berapi besar-besaran membuang sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer dan memicu kepunahan massal terburuk sepanjang masa," ungkap Judd
Penelitian baru dimulai pada tahun 2018 sebagai bagian dari perencanaan pameran " Deep Time " di Museum Sejarah Alam Nasional Smithsonian.
Ahli paleontologi Smithsonian Scott Wing dan Brian Huber ingin memasukkan kurva suhu dalam tampilan pertunjukan yang akan membantu pengunjung memahami bagaimana iklim bumi telah berubah selama 500 juta tahun terakhir. (Z-10)
Dugaan sementara, korban-korban tersebut menceburkan diri ke kali setelah ditegur oleh petugas kepolisian yang sedang berpatroli.
PENEMUAN diduga tulang manusia terjadi di pinggir jalan Tol Kelurahan Rawabuntu, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, Minggu (29/9/2024).
Berikut beberapa ilmuwan Timur dan Barat serta sejumlah penemuan yang bermanfaat hingga kini.
Para ahli paleontologi di Tiongkok baru-baru ini membuat penemuan yang luar biasa: fosil usus dari seekor dinosaurus pemakan daging yang hidup lebih dari 100 juta tahun lalu.
Para astronom telah menemukan reservoir air raksasa yang mengelilingi sebuah quasar yang terletak lebih dari 12 miliar tahun cahaya dari Bumi.
Penemuan luar biasa terjadi baru-baru ini di Provinsi Yunnan, Tiongkok. Di sana, dtemukan tengkorak dinosaurus raksasa yang diperkirakan berusia sekitar 200 juta tahun.
Penurunan muka air tanah di Cekungan Bandung telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dan menjadi salah satu fenomena geologi paling serius di Indonesia.
Kejadian ini menjadi bukti bahwa kondisi geologi bawah permukaan dapat berperan besar dalam risiko bencana yang tampak di permukaan.
Pakar Geologi UGM, Gayatri Indah Marliyani, mengungkap keberadaan sesar aktif penyebab rentetan gempa bumi beberapa waktu terakhir sulit dipetakan.
Sains adalah jendela ilmu yang membantu manusia memahami alam semesta. Berikut lima cabang utama ilmu sains.
Gunung-gunung yang menjulang merupakan hasil dari proses geologis yang melibatkan interaksi lempeng tektonik, aktivitas vulkanik, dan erosi.
Dataran Tinggi Dieng diusulkan menjadi Taman Bumi Nasional.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved