Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Kecerdasan Buatan untuk Lindungi Alam

Putri Rosmalia
31/10/2020 05:50
Kecerdasan Buatan untuk Lindungi Alam
Kecerdasan Buatan untuk Lindungi Alam(DOK. HUAWEI.COM)

UPAYA melindungi hutan dan para satwa penghuninya bukan perkara mudah. Apalagi, dengan mengingat luas hutan di Indonesia yang mencapai sekitar 94,1 juta hektare.

Dalam mengatasi keterbatasan jangkauan langkah manusia, pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk mencegah aksi perusakan lingkungan dan memantau populasi hewan liar mulai berkembang di berbagai daerah. Baik yang digarap oleh pemerintah maupun lembaga nonprofit (NGO).

Salah satu program pemanfaatan AI untuk pemantauan di kawasan hutan yang baru saja dirilis ialah di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru saja memulai proyek pengawasan hutan bernama Smart Forest Guardian. Huawei menjadi perusahaan yang digaet untuk mengembangkan teknologi pemantauan hutan tersebut, berkolaborasi dengan NGO Rainforest Connection.

Sistem pemantauan akan dilakukan untuk melindungi hutan dari aksi pembalakan, perburuan liar, serta upaya konservasi alam di TNBB. Pemanfaatan kecerdasan buatan akan diwujudkan dengan memaksimalkan sistem penyampaian suara secara realtime.

Kepala TNBB Agus Ngurah Kresna menjelaskan, teknologi AI tersebut nantinya akan bekerja dengan mendeteksi suara-suara dari aktivitas yang ada di berbagai titik TNBB. Teknologi tersebut diklaim bisa mendeteksi bermacam jenis suara, dari aneka suara satwa hingga ke suara alat berat yang diduga digunakan untuk pembalakan liar.

"Jadi, selain untuk mengawasi hutan dari tindak kriminal illegal loging, juga sekaligus sebagai alat untuk memonitor keberadaan satwa di kawasan hutan," ujar Agus Ngurah dalam keterangannya, Senin, (26/10).

Pemanfaatan AI di TNBB tersebut diharapkan dapat menjadi proyek percontohan untuk kemudian diterapkan di kawasan hutan atau taman nasional lain di Indonesia.

Sebelum resmi bekerja sama dengan pemerintah, Rainforest Connection juga telah melakukan uji coba pemanfaatan teknologi tersebut di hutan Sumatra. Program dilakukan lewat kolaborasi dengan warga sebagai pemantau aktivitas suara. Selain di Indonesia, program serupa juga pernah dilakukan di hutan Kosta Rika, Filipina, dan beberapa negara lain.

CEO Rainforest Connection (RFCx), Topher White, menjelaskan, secara singkat yang dilakukan pada teknologi pemantau hutan itu ialah dengan mengombinasikan ponsel, perekam suara, dan panel surya.

Dalam praktiknya di Kosta Rika, RFCx menerapkan sistem komputasi AI Huawei untuk mengembangkan model pendeteksi suara monyet laba-laba dan gergaji mesin yang biasa dipakai dalam penebangan liar. RCFx memanfaatkan ponsel lawas Huawei dan mendaurulangnya menjadi 'penjaga' (guardian) yang mendeteksi suara-suara hutan. Ditenagai panel surya, setiap 'penjaga' yang diletakkan di atas pepohonan dapat mencakup area seluas 3 km persegi dan beroperasi 24/7 hingga dua tahun.

Mereka akan mengirimkan rekaman suara secara real time ke server komputasi Huawei. Sebelumnya, untuk mengoptimalkan akurasi, pakar suara hewan telah menginput data suara hewan-hewan liar yang menjadi objek pemantauan ke arsip komputasi. Suara-suara itu digunakan untuk 'melatih' model AI agar kelak dapat menganalisis rekaman suara dari hutan, yang tentunya masif dan kompleks. Jika terdapat suara yang mencurigakan, sistem akan menotifikasi para penjaga hutan.

Satelit

Di negara-negara lain, upaya pengembangan AI untuk memantau kondisi hutan juga terus dikembangkan. Umumnya dilakukan dengan pemanfaatan data citra satelit.

Salah satunya seperti yang dilakukan oleh para peneliti dari Stanford University. Saat ini, mereka telah mengembangkan teknologi untuk memantau tingkat kekeringan di kawasan hutan di Amerika Selatan.

Para peneliti menggabungkan hasil pemantauan beberapa citra satelit secara berkala. Hasilnya, tingkat kekeringan lahan dapat terpantau dengan akurasi yang lebih tinggi melalui penggunaan data karakteristik warna lahan.

Pemanfaatan AI untuk membantu kerja manusia dalam melindungi hutan juga tengah disusun para peneliti dari Harvard School of Engineering. Sejak 2013, para peneliti mengombinasikan data hutan-hutan di berbagai negara untuk membuat peta wilayah rawan pembalakan dan perburuan liar. Data dibuat dengan menghimpun data satelit dan data aksi pembalakan serta perburuan yang terhimpun pada berbagai platform digital.

Sistem tersebut dinamakan Protection Assistant for Wildlife Security (PAWS). Berbekal PAWS, para polisi hutan dapat bekerja lebih maksimal dengan menyempitkan area pengawasan hutan.

"Tanpa data, para ranger hanya melakukan patroli berdasarkan intuisi mereka. Sistem yang kami buat akan membuat mereka bisa bergerak berdasarkan data konkret tingkat kerawanan yang ada di setiap wilayah," ujar ahli ilmu komputer Harvard School of Engineering, Gordon McKay, seperti dilansir phys.org, (11/10).

Di dunia, pembalakan liar menjadi salah satu penyebab utama deforestasi. Di Indonesia, berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), angka deforestasi selama 2013 hingga 2017 mencapai 1,47 juta hektare. Angka itu meningkat daripada periode 2009-2013 yang seluas 1,1 juta hektare. Secara ekonomi, negara kehilangan sekitar Rp30 triliun setiap tahun akibat pembalakan liar. (Berbagai sumber/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya