Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Sejarah yang (Akhirnya) Memilih Ronaldo

Panji Arimurti
11/7/2016 10:42
Sejarah yang (Akhirnya) Memilih Ronaldo
(AP/Thanassis Stavrakis)

MOMEN ketika Cristiano Ronaldo terduduk sambil menitikkan air mata, di lapangan di Stade de France menjadi salah satu momen yang menguras emosi pada laga final Piala Eropa 2016.

Saat kamera-kamera menyorot wajahnya, terlihat jelas rasa penyesalan yang tergambar dari kapten Tim Nasional Portugal tersebut. Cedera yang didapatnya usai dilanggar keras oleh gelandang Prancis Dimitri Payet di babak pertama membuat Ronaldo harus keluar lapangan lebih awal.

Kesempatan membela negaranya dan memimpin rekan-rekannya di partai final pun langsung sirna seketika. Ronaldo hanya mampu melihat perjuangan rekan-rekannya dari bangku pemain.

Saat itu, semua orang mungkin berpikir, karier internasional kapten Tim Nasional Portugal tersebut akan sama seperti rival abadinya, Lionel Messi, yang harus berakhir dengan titikan air mata.

Apalagi ketika Ronaldo memberikan ban kapten kepada rekannya Luis Nani sebelum dirinya kemudian ditandu keluar lapangan oleh tim medis. Impian bintang Real Madrid tersebut untuk memberi gelar pertama kali kepada negaranya pun sesaat sirna.

Final Piala Eropa 2016 memang menjadi kesempatan terbesar dan mungkin yang terakhir yang dimiliki oleh Ronaldo untuk mencatatakan namanya dalam sejarah sepakbola Portugal, setelah sang legenda Eusebio pastinya.

Maklum, di usianya saat ini yang sudah 31 tahun, sulit rasanya bagi Ronaldo untuk bisa membawa lagi Portugal melaju ke babak final di turnamen-turnamen besar. Di Piala Dunia 2018 di Rusia mendatang, usia Ronaldo akan menginjak 33 tahun. Sedangkan di Piala Eropa 2020, dia akan berusia 35 tahun, usia yang sangat tidak muda lagi untuk seorang pesepakbola.

Namun, sejarah akhirnya lebih memihak Ronaldo. Semua (apalagi pendukung Prancis) memang boleh berkata, Portugal bisa juara karena berbau keberuntungan.

Lolos dari fase grup dengan hanya menjadi satu dari empat tim peringkat tiga terbaik, Portugal justru bisa melaju hingga ke partai final. Apalagi, hingga babak perempat final Ronaldo dkk tidak mampu memetik kemenangan di waktu normal.

Seperti kritikan yang dilontarkan pelatih Jerman Joachim Low, yang menyebut kualitas peserta Piala Eropa kali ini sangat menurun. "Ini adalah masalah untuk jangka panjang. Terkadang, Anda melihat ada efek negatif untuk sepak bola. Kualitas dikorbankan," ucap pelatih berusia 56 tahun itu merujuk meningkatnya jumlah peserta Piala Eropa 2016, dari 16 tim menjadi 24 tim.

Sebab, menurut Low, tim yang ingin lolos dari fase grup tidak perlu mengincar kemenangan. Contohnya Portugal yang masuk ke babak 16 besar bermodalkan tiga hasil imbang di Grup F.

Namun apapun itu, kenyataanya kemenangan adalah abadi. Dan Ronaldo bersama Portugal lah yang meraih hal tersebut.

Pada laga di Stade de France, penampilan Portugal memang terlihat membosankan. Entah karena faktor Ronaldo atau bukan, yang jelas Portugal kalah segala-galanya dari Prancis. Tidak adanya Ronaldo, membuat Portugal seperti kehilangan pemimpin. Nani yang diberi ban kapten tidak sanggup untuk memikul beban tersebut.

Prancis lebih banyak menguasai bola dan lebih dominan dalam menyerang. Sementara Portugal hanya sesekali melakukan serangan, itupun bisa dengan mudah diredam pemain-pemain belakang Les Blues dan kiper Hugo Lloris.

Sementara itu, pelatih Portugal Fernando Santos pun terlihat lebih memilih membangun tembok pertahanan ketimbang meladeni permainan menyerang Prancis. Menempatkan satu penyerang di lini depan dengan formasi 4-5-1, Santos terlihat jelas ingin menyudahi laga hingga babak adu penalti.

Lagi-lagi semua boleh berpendapat, Portugal telah memainkan strategi negatif, membosankan, dan membikin ngantuk. Namun satu yang tidak boleh dilupakan juga adalah, pada laga tersebut Prancis ternyata juga tidak bermain bagus-bagus amat.

Anak-anak asuh Didier Deschmps tersebut memang memegang ball possession dan juga mendominasi pertandingan, namun hal tersebut tidak serta merta membuat mereka bisa bermain bagus.

Mungkin, satu pemain Prancis yang bisa dibilang berbahaya adalah Moussa Sisskoko. Selebihnya, pemain-pemain Les Blues lainnya hanya melakukan operan-operan yang hanya membuat mata pendukung Prancis senang.

Deschamps kemudian baru mengubah strategi setelah Portugal mencetak gol lewat pemain pengganti Eber di menit ke-109. Prancis menjadi lebih terlihat agresif dan meningkatkan serangan. Sangat efektif memang, namun sekali lagi, Prancis hanya mendominasi tidak menguasai pertandingan.

Sementara itu, di pinggir lapangan, Ronaldo dengan kaki yang dibalut perban, berteriak-teriak laksana pelatih memberikan semangat kepada rekan-rekannya. Dengan gesture menunjuk-nunjuk jam tangan ia berteriak kepada wasit Mark Clattenburg untuk segera meniup peluit agar pertandingan segera selesai.

Ronaldo kembali bersemangat. Meski hanya dari pinggir lapangan dia menunjukkan kepemimpinannya. Sambil terpincang-pincang dia memacu semangat pemain-pemain Portugal untuk mempertahankan kemenangan.

Dan ketika Clattenburg meniup peluit panjang, Ronaldo langsung meluapkan kegembiraannya. Tuntas sudah bebannya sebagai seorang pesepakbola, yakni memberi gelar bagi negaranya. Sedangkan di tribun stadion Stade de France, puluhan ribu pendukung Prancis hanya bisa menitikkan air mata kesedihan.

Sekali lagi, orang boleh saja menyanyangkan keberhasilan Portugal karena taktik yang mereka pakai. Orang boleh saja menuduh Portugal telah membunuh keindahan sepakbola. Namun kemenangan Portugal di Stade de France akan tetapp abadi dan dicatat oleh sejarah. Dan sejarahlah itulah yang akhirnya memilih Ronaldo.(X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya