Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Puisi-puisi Yunika Afryaningsih

Sajak Kofe
15/11/2023 09:00
Puisi-puisi Yunika Afryaningsih
( Ilustrasi: Amang Rahman)

Ilustrasi: Amang Rahman

Kepadamu, Nanti

Semua memiliki masanya sama seperti yang lain. Peranku akan sampai pada suatu hari tuk menjadi kenangan. Aku menulis tentangmu karena mereka tak pernah tahu aku namun, tidak denganmu. Aku bocah malas itu.

Aku tahu apa pun panggilanmu kepadaku yang menghabiskan banyak waktu denganmu. Kepadamu, biarkan memorimu menyimpanku. Jangan lupakan, atau aku akan sirna oleh waktu. Kepadamu yang tulus mengasihiku. Biarkan ruhku tertidur pulas dalam kenangan mesra sebisamu, dengan segala keindahan nanti, tentangku.

2023


Larik Satire, Cendekia Berkhayal

Kita saling berhadapan. Kau dengan batik 
hitam putihmu. Aku sebaliknya. Kau menatap gelisah.
Aku menatap redup empat buah buku itu—sedang tidak baik.
Sebab, bagaimanapun itu, kau telah memulainya dengan ikrar dan sumpah.

Aku pernah mendengarnya. Seorang yang bodoh perlu dibebaskan
dan aku telah menemukannya. Biarkan aku merawi. Barisan larik ini
akan berisik. Alarm untukmu pulang ke rumah.

Pagi ini—kau juga tahu, aku pergi bekerja di bawah rintikan hujan
dengan kacau. Kau bukan pengingkar, aku percaya. Kau saksikan.
Terjadi lagi. Dicekik ngeri ruang-ruang kelas tak bermata.
Dua yang kecil itu—lagi, yang akan terekam dalam jejak peramban.

Tak mungkinlah kau lupa dengannya saat kali pertama berkenalan.
Kau menyebut namanya, dia menyebut namamu. Menuntunnya
duduk paling depan karena tubuh mungilnya
tak menjangkau papan tulis. Sungguh, dermawan.

Omong kosong sekali pun tetap memberitahumu.
Nyawa-nyawa kecil itu, yang tak bisa bicara.
Menghadap pada dalam tiada.

Dia yang kecil berponi telah hilang keceriaannya. Di bawah kerlingan
kejam yang tua. Dia duduk terkulai dengan banyak waktu dalam gelisah.
Dia tak lagi bergembira dengan buku-bukunya.
Malamnya mengigau buruk. Rewel, resah.

Oh, yang lainnya, yang mencoba berani, telah hilang dari antrean.
Hati ibu-ayah terkoyak-koyak. Dia, sekali pun tak pernah 
memikirkan berhenti melewati gerbang sekolah,
apalagi menghitung-hitung tahun kematiannya.
Aku membayangkannya. Semua permainannya telah 
binasa. Tak lagi bisa angkat penanya.

Jadilah berita. Duka.
Dikutukilah kau-aku. Terpanggang rangka.
Untuk arti yang sama denganmu, ini rumah keduanya. Kupikir itu 
tidak berlebihan. Mereka terlalu muda, masih rapuh emosinya. 
Ia menginginkanmu menjaganya.

Kau lebih tahu sebaiknya yang harus diikuti,
atau kau mengikuti ketidakwarasan, kegilaan ini,
dan meninggalkan jendela Oktober yang dingin ini
pada kesia-siaan bersama suara tawa bel yang pilu.

Kau-aku, perlu mulai belajar lagi. Belajar mengajari dan
membangun diri sebelum mendidik yang muda
lewat buku-buku memikat, ruang-ruang kelas yang menjadi taman
ilmu menyenangkan atas dunia masa depan yang mulia.
Lalu, barisan Juli yang telah lewat membuatmu terkejut bahwa
yang muda tumbuh laik, melompati dahaga
seorang yang pernah bodoh—kau-aku, menjadi dewasa sesungguhnya.

2023


Merindukanmu

“Sini!” Kataku padanya dengan lembut.
“Hei, Cilik yang Manis! Sini!” Kataku lagi. 

Kamu lempar mobil-mobilan itu.
Lihatlah, rodanya lepas.
Kau lempar lagi dengan keras, 
robot-robotan kesayanganmu.
Lihatlah, tangannya lepas.

“Sayang! Lihat aku!” 
“Ceritakan padaku!”
“Kamu sedang marah padaku?”
“Sini! Peluk aku!”

Adalah dialog emosi yang pernah kuimpikan
kepadamu, yang pernah datang pada kami
pada suatu pagi yang muda.

Kamu bukan milik kami. 
Namun, tak datang karena tersesat.
Adalah cinta yang sungguh. 

Katil memang telah menjadi ramai. 
Hanya, terasa sunyi tanpamu.
Datanglah lagi. Kami menantikanmu.

2023


Biarkan ruhku tertidur pulas dalam kenangan mesra dengan segala keindahan.


Sebuah Pesan

Kepadamu yang membaca. Larik-larik sederhana berima ini.
Ingin menyapamu yang sedang menemukan wujud cinta.
Bait-bait nasihat yang disengaja. Sebab, yang tua akan tiada. 
Ingin yang muda menjaga.

Cinta itu kesabaran, Anakku. Cinta tidak membutakanmu
antara yang benar dan keliru. Dulu, aku dinasihati begitu
dan itu benar pada cerita hidupku.

Cinta yang lain, barangkali mengajarkanmu
menenggak kebiasaan buruk dan luka.
Meletakkan seseorang dalam bahaya adalah keliru. 
Apalagi, kau sedikit nyali dan belum dewasa.
Percayalah, segala hal yang baik layak untuk ditunggu, Anakku.

Dunia memang telah menjadi tua, Anakku.
Zaman mencengkeram tarikan nafas dan langkahmu.
Udara menjadi sesak dan menggoda dari tawa-tawa 
yang terpantul di jalan-jalan pagi-malam yang kaulintasi.
Tapi, sesekali, jangan biarkan nuranimu mengingkari.

2023 


Dalam Pangkuan, Bergialog dengan Kekasihku 

Kemari, kekasihku. Berbaringlah di pangkuanku.
Kita mengingat pinggiran Kelansam. Adalah bulan pertama, 
hari ke-23. Ketika fajar telah menurunkan tirainya dan cahaya 
saling bertemu. Di sanalah kita memulainya.

Kekasihku, pejamlah. Aku akan memulai ceritanya,
menuturkannya bersama irama 
sorot-sorot lampu beroda yang arif; dan langit di sana
yang sedang sengangar di kaki-kaki senja.

Kekasihku, aku telah terlalu bergairah padamu. 
Aromamu yang wangi. Mata coklatmu yang sendu, senyummu 
yang kadang malu-malu. Jari-jari besarmu 
yang terlihat hebat di atas papan ketik. Langkah kaki sunyimu 
yang berulang kali mengejutkanku. Pada punggung angkuhmu 
di balik meja kerja yang membelakangi seolah mengabaikanku, 
menambah pesona cendekiamu.

Aku bukanlah si rupawan yang dapat dilihat dari sudut mana suka.
Tapi, sungguh, aku selalu ingin dilihat ayu olehmu. Aku tahu, 
aku telah menjadi posesif. Si melankolis yang merasa paling. Mencemburu 
tatapanmu, jari-jarimu yang mengetik untuk gadis lain. Perasaan itu
karena kau milikku. Aku menyebalkan. Aku tahu.

Kekasihku, angkat sedikit kepalamu, dekatkan telingamu ke bibirku.
Aku ingin berbisik lembut. Hanya aku dan kau saja yang mendengarnya.
Suara (itu) dan kata (ini) yang hanya kita saja menikmatinya.
Aku telah melewati batasku. Aku tahu.

Kekasihku, sepasang matamu dapat menjangkau 
bintang di langit sana, bukan. Menyala harapan, 
kelak ketika satu di antara kita pergi lebih dulu, kita pun akan demikian. 
Simfoni cahayalah yang dilihat kala mengintip-intip masa lalu. 

Ah, ini terminal terakhir, ya. Kita telah sampai di rumah, kekasih.
Namun, ini bukan pemberhentian akhir. Mari, 
kita melanjutkan pengembaraan ini. Mengikuti
jejak-jejak musim kemarau dan hujan, yang kini tak lagi
bisa diprediksi. Melangkaui sela-sela takdir tersembunyi.

Kamu tersenyum, kekasihku. 
Ah, alfabetmu memang irit. Meskipun begitu,
aku gembira. Sungguhpun kau bisa 
merajuk lama, kusaksikan atas segala riang kelana
tingkahmu: kekasihku, penjaga gravitasiku.

2023


Baca juga: Puisi-puisi Anton Sulistyo
Baca juga: Puisi-puisi Yana Risdiana
Baca juga: Puisi-pusi Deriska Salsabila


 

 

 


Yunika Afryaningsih, pemuisi, lahir di Sintang, Kalimantan Barat, 11 April 1991. Menekuni kajian perpuisian. Puisi-puisi di sini diterima redaksi dalam rangka mengikuti Lomba Cipta Puisi Media Indonesia 2023. Kini bekerja sebagai dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat. (SK-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah
Berita Lainnya