Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Cemburu 

Iwan Jaconiah 
16/3/2022 19:00
Cemburu 
(Ilustrasi: Pavel Starostin)

SESEORANG tidak hanya menghuni suatu negara, tetapi juga mendiami suatu bahasa. Itu adalah negara dan tanah air kita, bukan yang lain.” 

Emil Cioran (8 April 1911 - 20 Juni 1995), filsuf dan esais Rumania, pernah mengatakan petuah bijak di atas. Cioran terkenal bukan karena banyak teman, tapi karena keputusan dia meninggalkan negaranya untuk berkelana dan belajar ke Prancis pada 1937. 

Belajar baginya untuk menemukan cakrawala baru. Cioran mencari makna hidup agar menjadi bijak, bukan sebaliknya barbar. Karena itulah, ia menyimbolkan bahwa untuk menghuni sebuah negara asing, wajib memahami bahasanya. 

Bagi saya, ‘mendiami suatu bahasa’ yang Cioran maksud ialah dalam konteks memahami dan mendalami bahasa Prancis. Itu dilakukan agar ikut melestarikan budaya dan menghargai sejarah bangsa tersebut. Peradaban bangsa-bangsa besar telah meletakkan dasar pemikiran mereka. Tidak ada yang mustahil di bawah langit. Semua hal tidaklah statis, melainkan beradaptasi mengikuti zamannya. 

Pembangunan awal Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur menunjukkan arah ke titik terang. Prosesi penyatuan air dan tanah dalam sebuah kendi di Titik 0 kilometer (Km) telah dilangsungkan Presiden Joko Widodo, awal pekan ini. 

Tanah dan air masing-masing dipersembahkan oleh 34 kepala daerah. Mereka menyatukan tekad bulat menjaga persatuan dan kesatuan. Barangkali ada pihak-pihak di luar sana yang terganjal atau sebaliknya lampang-lampang saja. 

Jokowi tetap pada jalurnya. Ia  harus merealisasikan sebuah kota masa depan dengan konsep sustainable city. Transportasi umum nyaman. Area ruang terbuka aman, dapat diakses, dan menyenangkan. Tentu saja, sebelum masa jabatannya berakhir pada 2024 mendatang sesuai konstitusi. 

Tanah dan air yang berbeda-beda telah bercampur jadi satu dalam sebuah kendi. Wadah untuk hidup bersama, baik suka maupun duka, di ini Republik. Wadah tersebut adalah milik semua rakyat dari Merauke sampai Sabang. Titik 0 Km menjadi sebuah pusaran baru.

Semua terpancarkan harapan baru dari sana. Pembangunan ibu kota negara sudah dimulai. Sorotan internasional pun telah menuju ke sana. Ada yang mendukung. Ada pula yang cemburu. Masing-masing memiliki dalil. 

Saya pikir pihak-pihak yang mendukung pemindahan ibu kota adalah orang-orang berani dan bijak. Memandang ke depan sebagai bukti Indonesia adalah bangsa hebat di gugusan kepulauan Asia-Pasifik. 

Jejak pemindahan ibu kota 

Kekaisaran Rusia pernah memindahkan ibu kotanya di era Tsar Peter The Great. Itu terjadi saat ia berkuasa pada 1682-1725. Pada 1712-1714, ibu kota Rusia (sampai 1918) dipindahkan dari Moskwa ke St Petersburg. 

Alasan utamanya ialah gejolak Perang Utara. Rusia lebih leluasa memperoleh akses ke Laut Baltik melalui armada perang lautnya di Petersburg yang elok itu. Lokasi pun strategis untuk menghadang musuh. 

Pada 1790, Amerika Serikat juga memindahkan ibu kotanya dari New York City ke Washington DC. Itu berjarak kira-kira 76 tahun setelah Rusia pertama kali memindahkan ibu kotanya. 

Brasil pun pernah memindahkan ibu kotanya sebanyak dua kali. Awalnya di Salvador (1549–1763), lalu dipindahkan ke Rio de Janeiro (1763–1960), dan ke Brasilia sejak 1960-an sampai kini. 

Begitu pula pada 1970, Belmopan memindahkan ibu kota dari Belize ke Belize City setelah badai menghancurkan kota tuanya itu. Di Asia, Kazakhstan juga memindahkan ibu kota dari Astana ke Nur-Sultan dan Myanmar memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw. 

Pemindahan ke Naypyidaw, misalnya, adalah manifestasi kediktatoran di negeri tersebut. Bahkan beberapa teman asal Myanmar yang pernah seasrama dengan saya di Moskwa pada 2020 lalu, mengaku belum pernah ke Naypyidaw. Salah satu alasan karena di sana tak ada hiburan. 

Saya sekadar menyebutkan beberapa contoh negara-negara di atas sebagai bukti bahwa pemindahan ibu kota menjadi biasa dalam sebuah pemerintahan. Peranan pemimpin untuk menghadirkan kenyamanan, keunggulan, dan keadilan sosial menjadi landasan utama. 

Keberadaan Ibu Kota Negara Nusantara menjadi bukti nyata bahwa Jokowi melihat ke masa depan. Ia memberikan sebuah titik terang sebab Republik ini begitu besar dan beragam sukunya. 

Sebuah era yang akan datang, yaitu pascakontemporer.  

Merujuk kembali pada telaah filsafat Cioran seakan memberikan gambaran tentang negara, yaitu tanah dan air. Mencampurkan tanah dan air merupakan simbol persatuan. Bukan nihilisme tentu saja sebagaimana dipercaya filsuf Jerman Friedrich Nietzsche. 

Jokowi menyatukan setiap tanah dan air dari 34 provinsi di Titik 0 Km sebagai upaya membawa Indonesia maju bersama. Harapannya, fasilitas di ibu kota baru nantinya tak kalah modern dengan negara-negara modern di muka bumi ini. 

Pemindahan dan pembangunan ibu kota baru adalah sebuah pemikiran ‘gila’, bijak, dan genius. Bangsa-bangsa telah melihat Jokowi sebagai sosok pemimpin berhati baja sekaligus lembut bak kapas. Tidak mementingkan dirinya, melainkan rakyat. 

Titik 0 Km menyiratkan bahwa membangun Indonesia sejatinya dimulai dari desa, bahkan dari hutan belantara sekalipun. Konsekuensinya, negara-negara tetangga dibuat cemburu sebab Nusantara sesungguhnya mencakup Brunei, Malaysia, Singapura, dan Thailand. 

Mereka pastinya melihat ke Borneo. Ada seorang pemimpin yang berani, hebat, dan nekat sedang membangun Ibu Kota Negara Nusantara. Dia adalah Jokowi. Legitimasinya setara dengan Peter The Great. 

Patut bersyukur atas niat baik Jokowi sebab bukan nama Jokowikarta yang digunakannya. Sebagaimana Peter dilegitimasikan menjadi Petersburg. Waktunya bergandeng tangan menyambut Indonesia Maju. Kerja, kerja, kerja! (SK-1) 

 

Baca juga: Kabar dari Taganrog
Baca juga: Bayar Kopi dengan Puisi
Baca juga: Menanam Sel Kanker di Kievan Rus

 

 

 

Iwan Jaconiah, penyair, esais, wartawan Media Indonesia. Ia adalah pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award pada helatan X International Literary Festival "Chekhov Autumn-2019" di Yalta, Republik Krimea, Federasi Rusia. Buku terbarunya kumpulan puisi Hoi! (Terbit Press, 2020). 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah
Berita Lainnya