Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Sidang Gugatan UU Kejaksaan, Ahli dari MA Soroti Potensi Impunitas Jaksa

Devi Harahap
15/7/2025 20:53
Sidang Gugatan UU Kejaksaan, Ahli dari MA Soroti Potensi Impunitas Jaksa
Gedung Mahkamah Konstitusi(Dok.Antara)

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), pada Selasa (15/7). Sidang berlangsung dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait dari Mahkamah Agung (MA).

Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA, Rizkiansyah Panca Yunior Utomo menyoroti sejumlah ketentuan dalam UU Kejaksaan yang dinilai menimbulkan polemik, salah satunya Pasal 8 ayat (5). Pasal ini mengatur bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.

Menurut Rizkiansyah, meskipun ketentuan tersebut bertujuan melindungi hukum demi menjaga independensi jaksa dalam menjalankan tugasnya, namun penerapannya harus dibatasi secara tegas agar tidak menimbulkan impunitas dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum serta asas kesetaraan di hadapan hukum.

Ia juga menjelaskan bahwa penugasan jaksa di luar institusi Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11A ayat (1) dan (3), tetap berada dalam ruang lingkup kewenangan jaksa sebagai openbaar ministerie yang bertugas mewakili kepentingan negara dan masyarakat sesuai Pasal 30 UU Kejaksaan.

“Kewenangan jaksa di bidang intelijen sebagaimana diatur dalam Pasal 30B harus dimaknai sebagai bentuk intelijen yudisial, yaitu mendukung penegakan hukum dan keadilan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945,” kata Rizkiansyah di ruang sidang Pleno MK. 

Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa perlu ada perhatian terhadap potensi pelanggaran prinsip independensi peradilan, khususnya terkait kewenangan Jaksa Agung dalam memberikan pertimbangan teknis hukum pada tingkat kasasi. Hal ini dinilai dapat membuka ruang intervensi terhadap proses pengambilan keputusan oleh lembaga peradilan.

Selain itu, Rizkiansyah juga menyoroti Pasal 35 ayat (1) huruf g yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mengoordinasikan, mengendalikan, serta melakukan penyelidikan dan penuntutan dalam perkara yang melibatkan yurisdiksi peradilan umum dan militer. Menurutnya, kewenangan ini tidak boleh dimaknai sebagai dominasi lembaga Kejaksaan terhadap institusi lainnya.

“Kewenangan tersebut harus dipahami sebagai fungsi koordinatif dari jaksa yang bertindak sebagai penuntut umum, bukan sebagai pemegang kendali tunggal atas proses hukum yang berjalan,” pungkasnya.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani meminta kepada pihak pemerintah dapat menjelaskan bentuk konkret dari teknis hukum yang berpotensi mengganggu independensi lembaga peradilan. Menurutnya, hal ini penting untuk bisa mengidentifikasi menyangkut putusan. 

“Apakah ini termasuk perkara yang ada di lingkungan peradilan umum itu seperti perdata dan pidana, ketika pidana Jaksa Agung apakah bertindak sebagai pemohon kasasi atau sebagai termohon kasasi? Ini mohon ditambahkan juga dari Kejaksaan,” jelasnya.

Terkait dengan gugatan pasal 30B UU Kejaksaan, Arsul menilai bahwa Mahkamah Agung barus bisa menjelaskan perbedaan penyelidikan dalam konteks jampidsus atau tipikor. 

“Jadi mohon agar dipertajam juga mengapa ada fungsi penyelidikan dalam konteks penegakan hukum pada bidang intelijen Kejaksaan, apa bedanya dengan penyelidikan dalam konteks penanganan perkara tindak pidana tertentu,” tukasnya. 

Sebagai informasi, persidangan kali ini menggabungkan pemeriksaan terhadap tiga perkara sekaligus, yaitu Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025, Perkara Nomor 15/PUU-XXIII/2025, dan Perkara Nomor 67/PUU-XXIII/2025.

Permohonan Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh advokat Agus Salim dan Agung Arafat Saputra. Para Pemohon mengujikan Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan yang menyatakan, “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.”

Dalam persidangan perdana yang digelar di MK pada Rabu (5/3), kuasa hukum Pemohon, Ibnu Syamsu Hidayat menyampaikan ketentuan pasal tersebut memberikan imunitas absolut kepada jaksa, sehingga berpotensi menghambat pengawasan dan meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang.

“Pasal ini menimbulkan imunitas yang absolut bagi jaksa, sehingga kontrol atau pengawasan terhadap kerja-kerja jaksa sulit dilakukan. Hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang, praktik ‘super power’, hingga tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, harus ada batasan yang jelas atas hak imunitas yang melekat pada aparat penegak hukum,” ujar Ibnu.

Pemohon juga membandingkan hak imunitas jaksa dengan imunitas advokat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk membela klien di pengadilan.

Menurut Pemohon, konsep hak imunitas jaksa juga harus memiliki batasan serupa untuk menjaga prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law). 

“Frasa ini sangatlah karet dan tidak berkepastian hukum. Mudah saja dengan adanya Pasal tersebut, suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh jaksa, kemudian didalilkan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,” tegasnya.

Sedangkan Permohonan Perkara Nomor 15/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Agus Setiawan (Aktivis/Mahasiswa), Sulaiman (Advokat), dan Perhimpunan Pemuda Madani. Para Pemohon menguji Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 30B huruf a, Pasal 35 ayat (1) huruf g dan huruf e UU Kejaksaan. 

Menurutnya, pemberian perluasan tugas Jaksa untuk memiliki rangkap jabatan dan menduduki atau mengisi jabatan di luar institusi kejaksaa, mencederai kemerdekaan dan independensi lembaga.

“Dengan pemberian wewenang kepada Jaksa untuk mengisi jabatan apapun tanpa ada pengaturan yang tegas dan jelas, akan menjadikan Kejaksaan sebagai lembaga multifungsi yang menyebabkan rusaknya independensi kejaksaan,” jelas Agus Setiawan dalam sidang perdana yang dilaksanakan di MK pada Kamis (13/3) lalu.

Para Pemohon juga mempersoalkan tentang perluasan tugas dan wewenang Jaksa untuk mengoordinasikan, mengendalikan, serta melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam semua tindak pidana merupakan pemberian kewenangan yang dapat membuat tumpang tindih kewenangan. Seharusnya, kewenangan jaksa dalam penyidikan hanya sebatas pada tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Terakhir, permohonan Perkara Nomor 67/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh dua advokat, Harmoko dan Juanda menggugat Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan yang dinilai memberikan hak imunitas bagi jaksa. 

“Artinya, apabila jaksa melakukan tindak pidana dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, maka hanya dapat dilakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan atas izin Jaksa Agung,” jelas Harmoko. 

Hal ini menurut pandangan para Pemohon memberikan perlakukan yang berbeda dengan para penegak hukum lainnya, seperti hakim, polisi, dan advokat. Bahkan norma ini dinilai tidak memberikan pengecualian mengenai kualifikasi dan jenis tindak pidana yang dilakukan jaksa.

Sementara advokat sekalipun memiliki hak imunitas, namun ketika advokat dalam menjalankan tugas profesi tidak berdasarkan pada itikad baik dan melanggar peraturan perundang-undangan maka tetap harus diperiksa, dan ditahan tanpa ada izin tertulis dari pimpinan organisasi advokat maupun dari pihak tertentu. (Dev/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya