Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu dengan Pilkada masih disorot banyak pihak. Tak terkecuali di kalangan anggota DPR RI.
Anggota DPR RI Komisi II, Wahyudin Noor Aly, menuturkan keputusaan MK itu memang mengejutkan termasuk rekan-rekan di DPR RI. Keputusan MK itu hampir sama dengan pelaksanaan Pemilu sebelumnya, lebih tepatnya saat Pemilu 2024 lalu.
“Pada Pemilu 2024 itu kan rakyat memilih lima kali. Sehingga KPU RI saat itu merancang Pemilu ke depan dua kali, hampir sama dengan putusan MK, hanya basisnya yang berbeda,” ujar Wahyudin, saat menghadiri pembukaan kegiatan sosialisasi pengawas partisipatif di Hotel Premiere Tegal, Jawa Tengah, Minggu (6/7).
Wahyudin menyebut sebelumnya basisnya pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif. Sehingga usulannya saat itu adalah Pemilu eksekutif yakni presiden, gubernur, dan bupati/wali kota serta Pemilu legislatif yakni anggota DPR dan DPRD.
“Namun, proses itu tidak berjalan dan pelaksanaan Pemilu terus berkembang hingga muncul Pemilu serentak. Pemisahannya, Pemilu presiden dan pileg jadi satu sesi dan selanjutnya kepala daerah,” terang Wahyudin.
Wahyudin berpandangan semua Pemilu itu ideal, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah agar rakyat tidak terlalu banyak memilih. Selain itu, juga perlu melihat isi dari Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur Pemilu itu setiap 5 tahun sekali.
“Keputusan MK kemarin langsung di-endorse, untuk Pemilu nasional yakni pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan anggota DPD RI pada 2029. Kemudian ada Pemilu lokal atau daerah yang terdiri dari pemilihan gubernur, wali kota, dan anggota DPRD dua tahun setelahnya atau pada 2031,” terang Wahyudin.
Wahyudin memaparkan yang menjadi persoalan adalah ketika Pemilu daerah diputuskan mundur 2 tahun setelah Pemilu Nasional. Itu, artinya tujuh tahun dari Pemilihan Kepala Daerah 2024, padahal di Undang-Undang Dasar diatur Pemilu itu lima tahun sekali.
“Inilah yang sedang dikaji teman-teman di bagian hukum, apakah menabrak UUD 45 ataukah nantinya akan direvisi. Mungkin basisnya seperti keputusan MK, yakni Pemilihan Kepala Daerah tetap lima tahun tapi pelaksanaannya tidak di 2029 tetapi di 2031 jadi bukan diundur,” jelasnya.
Lanjut Goyud—sapaan Wahyudin Nooraly--keputusan MK baru saja dibuat, sehingga, perjalanannya masih panjang dan mungkin saja bisa terjadi dinamisasi.
“Namun, yang terpenting Pemilu harus simpel dan tidak membuang anggaran,” jelas Goyud.
Komisioner Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Divisi Humas, Data, dan Informasi, Sosiawan, menyampaikan lembaganya merupakan pelaksana undang-undang. Jika sekarang MK memutuskan untuk memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah maka pihaknya masih menunggu.
“Kita belum tahu, undang-undangnya seperti apa? Pemerintah dan DPR sedang mempelajari putusan MK. Sehingga kami belum bisa menentukan sikap apapun. Saat ini kita masih menunggu,” ujar Sosiawan.
Sosiawan menyebut bagi Bawaslu pengawasan partisipatif adalah pelibatan masyarakat dalam mengawasi Pemilu maupun Pemilihan. Bawaslu tidak bisa berperan maksimal jika masyarakat tidak terlibat.
“Karena SDM terbatas, dananya terbatas sehingga perlu partisipasi aktif masyarakat untuk mewujudkan Pemilu berkualitas, transparan dan bermartabat. Sehingga hasilnya yang berkualitas dan bisa diterima masyarakat karena prosesnya berkualitas dan bermartabat,” jelas Sosiawan.
Dalam kegiatan sosialisasi pengawas partisipatif itu juga ada pentas teaterikal berupa monolog bertajuk 'Gomgoman Brayan', oleh seniman senior Eko Tunas yang diiringi tiupan seruling Rahmansyah serta pembacaan puisi oleh Fayza Alya Nadiva.
Budayawan Pantura, Atmo Tan Sidik, menyebut menyampaikan satu pesan tidak sekadar dengan logika dan etika tapi juga estetika melalui sastera.
“Persoalan kita sekarang adalah bagaimana memadukan antara seniman dengan birokrat untuk saling bersinergi dalam menyampaikan suatu pesan seperti dalam sosialisasi pengawasan partisipatif terkait Pemilu dan Pileg,” ujar Atmo Tan Sidik. (JI/E-4)
Dengan penjelasan dari MK tersebut, menurut dia, DPR dan Pemerintah tidak akan salah dan keliru ketika merumuskan undang-undang tentang kepemiluan.
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari merespons sejumlah partai politik yang bereaksi cukup keras terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan Pemilu.
Yusril Ihza Mahendra menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan pemilu nasional dan lokal. Menurutnya pemilu tak bisa diundur
Puan Maharani mengatakan seluruh partai politik akan berkumpul membahas putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan Pemilu lokal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved