Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kementerian HAM Rekomendasikan Bentuk TGPF Usut Kasus Eksploitasi OCI

Devi Harahap
07/5/2025 18:29
Kementerian HAM Rekomendasikan Bentuk TGPF Usut Kasus Eksploitasi OCI
Sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR(ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

KEMENTERIAN Hak Asasi Manusia (HAM) merekomendasikan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk mengusut tuntas kasus dugaan pelanggaran hukum dan HAM terhadap mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI).

“Dengan adanya kompleksitas kasus ini sebagaimana yang dikemukakan, munculnya usulan tentang pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk melakukan pendalaman lebih lanjut yang bersifat investigatif dapat saja dipertimbangkan,” kata Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Munafrizal Manan kepada awak media di Kantor Kementerian HAM, Jakarta pada Rabu (7/5). 

Munafrizal menjelaskan bahwa pembentukan TGPF tersebut didasari adanya permintaan resmi DPR RI. Selain itu, TGPF dinilai perlu dibentuk guna melakukan pendalaman lebih lanjut yang bersifat investigatif mengingat kompleksnya kasus ini.

“Berdasarkan hasil pendalaman atas pengaduan korban, Kementerian HAM menemukan adanya dugaan pelanggaran hukum dan HAM. Pada akhirnya temuan fakta peristiwa yang diperoleh TGPF akan berujung pada opsi penyelesaian yang tersedia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” katanya. 

Kasus yang terjadi sejak sekitar tahun 1970-an ini disebut kompleks karena panjangnya rentang waktu peristiwa, persoalan penetapan subjek hukum, aspek pembuktian, serta kerentanan korban yang mengalami dampak sosial dan psikologis hingga kini.

“Kalau TGPF dibentuk dan menggali semakin banyak fakta atas kasus ini, pada akhirnya nanti temuan fakta itu juga akan berujung pada opsi penyelesaian seperti apa untuk mewujudkan keadilan bagi para mantan pemain sirkus OCI,” jelas Munafrizal.

Atas dasar itu, Kementerian HAM memberikan opsi-opsi yang dapat ditempuh untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban, antara lain, melalui penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, hukum pidana umum, keperdataan, keadilan restoratif, dan mediasi.

Penyelesaian melalui kerangka pelanggaran HAM berat masa lalu dapat ditempuh mengingat peristiwa yang diadukan korban terjadi puluhan tahun lalu, sehingga berpotensi kadaluarsa menurut peraturan perundang-undangan.

Kendati demikian, langkah ini memiliki sejumlah tantangan, seperti harus dapat membuktikan unsur serangan sistematis atau meluas sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Tantangan lainnya, harus melalui penyelidikan pro justitia oleh Komnas HAM sebagai penyelidik, harus melalui penyidikan dan penuntutan oleh Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum, serta memerlukan persetujuan DPR RI untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc,” tukasnya.

Terkait penyelesaian kasus tersebut, Munafrizal menjelaskan bisa dilakukan melalui jalur hukum pidana karena diduga kuat para mantan pemain OCI mengalami sejumlah tindak pidana seperti eksploitasi anak, penyiksaan, perdagangan orang, hingga pemisahan dari keluarga yang berujung pada penghilangan identitas.

“Tapi kendalanya, sebagian besar peristiwa yang dilaporkan terjadi pada dekade 1970-an hingga 1990-an sehingga secara formal dapat dinyatakan telah melampaui batas waktu penuntutan pidana,” jelasnya.

Meskipun demikian, Kementerian HAM mendorong kepolisian untuk mencermati bahwa sebagian tindakan pidana tersebut memiliki dampak berkepanjangan yang belum sepenuhnya berhenti hingga kini, seperti penghilangan identitas atau tidak adanya pemulihan yang memadai.

“Kecenderungan pola keberulangan yang bisa saja dialami oleh generasi pemain OCI yang lebih muda juga perlu diperhatikan. Oleh sebab itu, Polri yang pada tahun 1999 telah menetapkan penghentian penyidikan dinilai dapat membuka kembali penyelidikan kasus ini atas dasar bukti baru (novum),” tukasnya. 

Selain pidana, Kementerian HAM juga mendorong agar dilakukan pendekatan perdata yaitu para korban dapat menuntut ganti rugi, pengakuan atas kerugian non-material secara spesifik, serta rekonstruksi hubungan hukum antarpihak. 

Adapun terkait pendekatan keadilan restoratif, Kementerian HAM menyebut korban dapat menempuh langkah ini untuk membuka ruang pengakuan kebenaran, permintaan maaf, pemberian kompensasi atau bentuk pemulihan lainnya, serta rekonsiliasi.

Sementara itu, Munafrizal menjelaskan untuk pendekatan mediasi, dapat dipertimbangkan sebagai instrumen penyelesaian yang relevan dan adaptif. 

“Mediasi dapat diformulasikan bukan sebagai bentuk penyelesaian pelanggaran terhadap anak saja, melainkan juga upaya pengakuan terhadap kerugian historis korban yang masih membekas,” pungkasnya. (Dev/M-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya