Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Problem Etika Picu Ketidakpercayaan Publik

Media Indonesia
09/2/2024 22:35
Problem Etika Picu Ketidakpercayaan Publik
Ilustrasi(MI/ Duta)

PELEMAHAN demokrasi seolah dilakukan secara terencana oleh para elite politik yang berkuasa, khususnya oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

"Saya sepakat saat ini ada problem etika di negara kita secara khusus di Pemilu 2024, terutama sejak adanya putusan MK yang meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto," ujar Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas dalam Webinar Nasional kolaborasi Moya Institute dan Nusantara 2045 dengan tema Pilpres Indonesia: Di Tengah Kemelut Etika dan Hukum?", Jumat (9/2(

Melihat kondisi demokrasi Indonesia saat ini, Sirojudin menjadi ingat kalimat filsuf Albert Camus (1913-1960), yang mengatakan bahwa seorang pemimpin tanpa etika itu sama saja seperti melepaskan binatang buas ke rakyatnya.

Baca juga : Ahok Disebut tidak Tahan Lihat Jokowi Merusak Demokrasi

"Kita lihat kini keputusan penguasa tak lagi mengindahkan etika, bak melepas binatang buas. Saya sangat khawatir, pelanggaran etik MK dan KPU,  yang lalu ini disetujui presiden. Jika itu benar, maka kita sebetulnya sedang melepaskan binatang buas untuk memangsa bangsa sendiri," jelas Sirojudin.

Sirojudin menambahkan jika itu dilakukan, maka yang muncul adalah kekacauan, kebinasaan, dan kerusakan luar biasa.

"Kalau kita belajar dari Camus, kita bisa prediksi risiko paling buruk, yaitu memunculkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan rakyat, tentu saja presiden bisa keluarkan dekrit bahwa pemilu itu sah, tapi bagaimana mungkin Jokowi dan MK nanti memuaskan masyarakat yang dari awal sudah melihat kecurangan dan pelanggaran etika yang dilakukan secara berturut turut?" imbuhnya.

Baca juga : BEM SI Desak Presiden Jokowi Keluar dari Permainan Pemilu

Menurut Sirojudin, ada risiko hasil pemilu tidak diterima masyarakat dalam waktu atau tempo yang sulit diprediksi.

Secara sosial, lanjut Sirojudin, problem ini masih ada di tataran elite. Gerakan guru besar di universitas-universitas akhir-akhir ini menjadi bukti, seakan ada konsensus di kaum terdidik atau cendekiawan bahwa Indonesia dalam masa bahaya, karena Jokowi melanggar konstitusi dengan mengusung putranya sebagai cawapres.

Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud mengatakan, pegangan berbangsa dan bernegara adalah hukum, jika tidak, maka akan kocar-kacir, semrawut. "Lebih memprihatinkan, yang buat kocar kacir tersebut adalah hukum dipisahkan dari ahklak, etika" tegasnya.

Baca juga : Alumni Pesantren Gontor Bergerak Lawan Rezim Jokowi

Marsudi mengatakan, mengingatkan pemimpin menjadi kewajiban seorang Muslim, sedangkan pemimpin berkewajiban mendengarkan kritikan rakyat.

Ia menambahkan, sudah disepakati bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam Islam, berbangsa dan bernegara bisa berjalan jika empat hal bisa dipastikan. Pertama, negara, bangsa, dan pemerintahan ini diatur dengan cara musyawarah.

"Kedua, harus menjunjung kemaslahatan pribadi atau individu. Ketiga, memilih presiden atau pemimpin hukumnya wajib. Kempat, bagaimana bangsa Indonesia yang berbeda-beda mampu bersama-sama tolong menolong dan gotong royong untuk memastikan pemilu berjalan dengan baik," paparnya.

Baca juga : Civitas Akademika Kritik Presiden Jokowi, JK: Itu Dari Hati Nurani

Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto menyatakan, pelaksanaan pemilu yang jurdil dan luber bakal menyelamatkan demokrasi Indonesia. "Ormas, cendekiawan, dan mahasiswa juga sudah turun, kita berharap penyelenggaraan pemilu lancar, meski ada hiruk pikuk," jelasnya. (P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya