Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Informasi Pembanding Jadi Penangkal Hoaks

Sri Utami
02/11/2023 17:55
Informasi Pembanding Jadi Penangkal Hoaks
Anggota DPR Fraksi PPP Syaifullah Tamliha (kanan), Fraksi Demokrat Herman Khaeron (kiri), Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik (tengah)(MI/Susanto)

PAKAR politik Universitas Al Azhar Ujang Komarudin menilai rumitnya konstruksi politik berdampak pada kebenaran yang bersifat relatif bukan lagi orisinil. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai informasi khususnya hoaks yang disebarkan secara masif tanpa ada informasi pembanding (klarifikasi) yang pada akhirnya menjadi kebenaran.

"Rumitnya konstruksi politik kita itu bicara soal hoaks. Pada era sekarang ini kebenaran ini menjadi relatif. Kenapa relatif sesuatu yang dianggap informasi biasa yang itu kemudian dihembuskan begitu derasnya, begitu banjirnya. Kalau tidak ada yang menangkal dan tidak ada mengklarifikasi maka ini akan menjadi kebenaran, ini membahayakan," jelasnya.

Dampak hoaks juga memberikan kesulitan kepada publik di arus bawa. Ujang mencontohkan seorang ustadz yang ditangkap polisi karena dituduh menyebar hoaks yang kemudian ditangkap dua tahun setelahnya.

Baca juga: Penguatan Literasi dan Penegakan Hukum Kunci Lawan Hoaks

"Ustad ini hanya mengetahui menyebar saja tidak membacanya. Ini kondisi yang sangat menyedihkan. Yang saya takutkan adalah ketika informasi hoaks ini dihembuskan begitu masif yang menjadi sebuah kebenaran maka tidak ada lagi kebenaran yang orisinil. Sehingga semua menjadi relatif inilah yang bahaya," ujarnya.

Dia menekankan dalam menciptakan demokrasi yang sehat yang kuat juga bermartabat maka suka atau tidak suka kita harus mengantisipasi perjalanan hoaks.

Baca juga: Isu Netralitas, Masyarakat Harus Lebih Intens Mengawal Pemilu

"Saya menebar hoaks misalnya dengan orang terdidik dengan buzzer yang memiliki intelektual yang tinggi dengan skema yang terstruktur sistematis dan masif pasti akan menjadi kebenaran. Penting sekali ada narasi pembanding atau narasi kebenaran ide dan gagasan yang muncul misalnya menjadi narasi yang mainstream maka hoaks itu akan muncul," sambungnya.

Di kesempatan yang sama Bersama Mencegah Hoaks dan Kampanye Hitam Jelang Pilpres 2024, di gedung DPR, Kamis (2/11) sekjen Partai Gelora Mahfudz Siddiq hoaks merupakan hasil dari lemahnya regulasi yang kita miliki.

"Kita berada di ruang dunia digital dan kita harus mengakui secara objektif bicara dunia digital dengan seluruh apa yang ada di dalamnya, kalau berbicara perspektif regulasi kita ini sudah tertinggal 10 tahun. jadi dunia digital dan sudah merangsek semua aspek kehidupan termasuk kehidupan politik dalam 10 tahun terakhir secara progresif," ungkapnya.

Selama ini platform informasi media yang ada memiliki penegak regulasi yang akan selalu siap memantau dan menegakkan aturan hukum.

"Lalu kenapa ini menjadi ramai menjadi ruwet karena basis regulasinya yang tidak lengkap," imbuhnya.

Menurutnya telah terjadi pergeseran diksi pemilu yang akhirnya menciptakan ruang persaingan yang sengit. Faktor power struggle juga hadir yang menambah bobot pertarungan kekuasaan. Dengan situasi demikian maka serangan pertarungan di dunia digital menjadi tidak bisa terelakan.

"Pemilu itu adalah pesta tapi sekarang di era reformasi terjadi pergeseran diksi. Jadi ketika kompetisi menjadi konsepsi besar dalam pemilu maka ada satu faktor yang akan menentukan seberapa kuat kompetisi dan kontestasi itu akan berlangsung di lapangan. apa faktornya adalah power struggle bagaimana bobot pertarungan kekuasaan aktor-aktor yang ikut dalam pemilu.

Sementara itu menurut anggota DPR Fraksi PPP Syaifullah Tamliha mengatakan sudah saatnya kurikulum kita mengajarkan tentang penggunaan media sosial yang terdidik dan beretika.

"Harus ada atau diatur dalam kurikulum sehingga ada pendidikan tentang itu kurikulum khusus. Bagaimana bermedia sosial sesuai dengan etika yang bermoral," katanya.

Syaifullah yang pernah menjadi dewan pengawas intelijen ini juga mengatakan media sosial memiliki banyak efek positif dibandingkan negatif. Hal yang paling membahayakan dalam media sosial jika digunakan untuk kepentingan operasi intelijen.

"Saya melihat banyak positifnya dibanding negatifnya yang berbahaya kalau ada operasi intelijen. Jadi operasi intelijen itu berbahaya seolah-olah semua baik, tingkat kepuasan publik seolah sangat baik. Itu yang bahaya," tukasnya. (Sru/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya