DALAM peraturan perundangan tentang Pemilihan Umum (Pemilu) anggota Polri dan TNI tidak memiliki hak suara. Bisa dibilang mereka memiliki pantangan sebagai peserta pemilu. Namun di luar itu, Polri juga memiliki pantangan tersendiri selama Pemilu 2024.
Lantas, kok bisa ada pantangan? Apa saja sih jenis pantangan yang dimaksud? Mari simak penjelasan berikut ini.
Berawal dari mantan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian yang saat ini menjabat sebagai menteri dalam negeri (Mendagri), melalui Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadivpropam) Polri Irjen Pol Martuani Sormin mengeluarkan 13 aturan sebagai pedoman bagi jajaran Polri. Ke-13 aturan itu diharapkan membuat Polri untuk bersikap netral dalam Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.
Baca juga: Wajib Tahu! Ini Alasan Mengapa Indonesia Harus Selenggarakan Pemilu
Berikut pedomannya:
- Anggota Polri dilarang mendeklarasikan diri sebagai bakal calon kepala/ wakil kepala daerah/ caleg.
- Anggota Polri dilarang menerima/ meminta/ mendistribusikan janji, hadiah, sumbangan atau bantuan dalam bentuk apapun dari pihak parpol, paslon dan tim sukses pada kegiatan Pemilu.
- Anggota Polri dilarang menggunakan/ memesan/ menyuruh orang lain untuk memasang atribut yang bertuliskan/ bergambar parpol, caleg dan paslon.
- Anggota Polri dilarang menghadiri, menjadi pembicara/ narasumber pada kegiatan deklarasi, rapat, kampanye, pertemuan partai politik kecuali dalam melaksanakan pengamanan yang berdasarkan surat perintah tugas.
- Anggota Polri dilarang mempromosikan, menanggapi dan menyebarluaskan gambar/ foto bakal pasangan calon kepala/ wakil kepala daerah baik melalui media massa, media online dan media sosial.
- Anggota Polri dilarang melakukan foto bersama dengan bakal pasangan calon kepala/ wakil kepala daerah/ caleg.
- Anggota Polri dilarang memberikan dukungan politik dan keberpihakkan dalam bentuk apapun kepada calon kepala/ wakil kepala daerah/ caleg/ tim sukses, serta dilarang menjadi pengurus/ anggota tim sukses paslon/ caleg dalam Pemilu.
- Anggota Polri dilarang menggunakan kewenangan atau membuat keputusan dan/ atau tindakan yang dapat menguntungkan/ merugikan kepentingan politik parpol maupun paslon/ caleg dalam kegiatan Pemilu.
- Anggota Polri dilarang memberikan fasilitas-fasilitas dinas maupun pribadi guna kepentingan parpol, caleg, paslon Pilkada, tim sukses dan paslon presiden/ wapres pada masa kampanye.
- Anggota Polri dilarang melakukan kampanye hitam terhadap paslon serta dilarang menganjurkan masyarakat untuk menjadi golput.
- Anggota Polri dilarang memberikan informasi kepada siapapun terkait dengan hasil penghitungan suara pada kegiatan pemungutan suara Pemilu.
- Anggota Polri dilarang menjadi panitia umum Pemilu, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (PANWASLU) serta turut campur tangan dalam menentukan dan menetapkan peserta Pemilu.
- Anggota Polri dilarang menjadi pengurus/ anggota tim sukses paslon/ caleg dalam Pemilu.
Baca juga: Publik Kehilangan Referensi Memilih pada Pemilu 2024
Terakit dengan 13 poin tersebut, satu di antaranya Polri tidak boleh ikut dalam pemilu. Aturan yang sama pun ditetapkan untuk TNI.
Larangan TNI ikut dalam politik itu berawal dari era orde lama. Saat itu, TNI masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI yang terlibat politik, membuat mereka terkotak-kotak dalam partai politik yang mereka dukung. Hal ini menyebabkan institusi ABRI menjadi tidak solid dan terpecah.
Untuk mengatasi ini, pada masa Orde Baru, ABRI diberi jatah keanggotaan di parlemen (DPR/DPRD dan MPR) tanpa melalui pemilihan, melainkan pengangkatan. Ini dimaksudkan agar anggota ABRI tidak lagi terkotak-kotak dan bisa berdiri di atas semua golongan.
Pada kenyataannya, prinsip berdiri di atas semua golongan justru berkembang liar menjadi mengatasi semua golongan. ABRI digunakan sebagai alat kekuasaan.
Akibatnya, ABRI tidak hanya terlibat dalam kegiatan politik, tapi juga berperan dalam seluruh proses dan mekanisme politik yang berlangsung. ABRI bahkan ikut mengawasi secara langsung dan mengintervensi proses pemilu. Untuk menyelesaikan masalah ini, keterlibatan tentara dan polisi dalam politik dikoreksi.
Hak ABRI, yang kemudian dipisah menjadi TNI dan Polri, dalam berpolitik pun dicabut. TNI dan Polri tidak diberi hak pilih dalam Pemilu dan tidak ada lagi pengangkatan anggota dari dua institusi ini di lembaga perwakilan. Hingga kini, TNI dan Polri sepenuhnya hanya menjadi alat negara yang profesional. (Z-3)