Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Pengamat: Terkait Rusia vs Ukraina, Indonesia Harus Belajar dari Turki Usmani

Cahya Mulyana
28/2/2022 14:43
Pengamat: Terkait Rusia vs Ukraina, Indonesia Harus Belajar dari Turki Usmani
Ilustrasi: Konvoi kendaraan truk militer Rusia di Rostov, Rusia.(STRINGER / AFP )

Pengamat Pertahanan dan Militer Robi Sugara mengatakan terkait perang Rusia-Ukraina, Indonesia harus banyak belajar apa yang pernah dilakukan oleh Turki Usmani di masa lampau ketika merespon Perang Dunia I di Eropa yang pecah pada 1914.

Saat itu, lanjut Pengajar Keamanan Internasional Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut Turki Usmani sikapnya terbelah ke dalam tiga sikap. Sikap pertama, mendukung Prancis, Inggris Raya dan Rusia. "Sikap kedua, mendukung Austria-Hungaria dan Jerman. Dan sikap ketiga mengingnkan netral dan tidak bersikap," ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (28/2).

Ia mengatakan bagi yang menghendaki dukungan kepada Prancis, Inggris dan Rusia berarti mereka yang pernah mengenyam pendidikan di Barat dan Kemal Atatruk salah satunya. Sementara yang setuju untuk mendukung Austria-Hungaria dan Jerman beralasan sebagai sikap perlawanan pada Inggris dan Prancis yang selama ini ditengarai membiayai kelompok pemberontak di Timur Tengah untuk melemahkan kekaisaran Turki Usmani. "Kemudian bagi yang bersikap netral sebab, perang terjadi di Eropa yang jaraknya juga jauh dengan Turki sehingga tidak perlu melakukan dukungan diantara yang bertikai," tuturnya.

Robi melihat Turki Usmani memilih untuk mendukung Austria-Hungaria dan Jerman. Dari situ, Turki yang saat itu Alat Utama Sistem Senjata Turki sangat lemah diberikan bantuan uang dan persenjataan dari Jerman karen dukungan tersebut. “Tapi Austria-Hungaria dan Jerman akhirnya kalah pada peperangan itu pada 1918 dan tak lama setelah itu, Turki Usmani bubar kekaisaranya,” terang Robi.

Dari sini, Robi melihat apa yang dialami oleh Turki harus jadi bahan pelajaran oleh pemerintah Indonesia. Indonesia sampai hari ini masih memegang kebijakan politik luar negerinya non-blok alias tidak berpihak pada polarisasi politik yang terjadi di luar negeri, khususnya perang. “Jadi Indonesia harus tetap netral dan berhati-hati untuk berkomunikasi,” ungkap Robi.

Jadi komunikasi politik kebijakan luar negeri Indonesia harus satu komando yang harus bersumber dari Presiden langsung. “Jangan sikapnya berbeda-beda antara Presiden, kementrian luar negeri, kementrian politik dan HAM, dan kementrian pertahanan,” saran Robi.

Robi melanjutkan sebaiknya pejabat publik Indonesia jangan terlalu banyak bicara soal perang di Ukraina sebab takut kepleset. “Sampai hari ini, saya melihat komunikasi publik pejabat Indonesia umumnya masih buruk,” pungkas Robi yang juga direktur Indonesia Muslim Crisis Center. (OL-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati
Berita Lainnya