Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Yusril Ihza Mahendra : Penundaan Pemilu Melanggar Konstitusi

Cahya Mulyana
27/2/2022 14:59
Yusril Ihza Mahendra : Penundaan Pemilu Melanggar Konstitusi
Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yusril Ihza Mahendra.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

MANTAN Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yusril Ihza Mahendra menyatakan penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 bertentangan degan konstitusi. Jika ingin dipaksakan maka harus melakukan amendemen UUD 1945.

"Kalau pemilu memang harus ditunda karena alasan ekonomi dan pandemi, maka saya telah memberikan tiga jalan untuk mengatasinya. Jalan yang paling mungkin seperti telah saya bahas adalah amandemen terhadap Pasal 22E UUD 45. Kalau itu dilakukan, maka keraguan Sekjen PDIP mengenai dasar hukum penundaan pemilu menjadi lebih jelas dan lebih kokoh," ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (27/2).

Ia mengatakan wacana penundaan pemilu didukung tiga Ketua Umum PKB, Golkar dan PAN yakninMuhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan (PAN). Padahal perhelatan di 2024 jadwalnya telah disepakati pemerintah, DPR dan KPU berlangsung pada 14 Februari 2024.

Baca juga: Penundaan Pemilu Bentuk Sikap Kontra Produktif terhadap Demokrasi

Alasan penundaan pemilu yang awalnya dilontarkan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia ini memang beragam, kata Yusrli. Pertama, situasi perekonomian negara sedang sulit, utang menggunung, berapa biaya pemilu hingga kini belum dianggarkan dan sumbernya juga belum jelas dari mana.

Kedua, pandemi sedang merebak dan belum dapat diprediksi kapan akan berakhir. Ramai-ramai kampanye dan pencoblosan bisa membuat makin banyak rakyat yang terpapar.

Ketiga rakyat masih menghendaki Jokowi melanjutkan kepemimpinan. Bahkan, ada yang meminta diperpanjang tiga periode.

"Sementara Jokowinya sendiri dalam berbagai kesempatan menyatakan tidak punya niat untuk menjabat tiga periode karena menyalahi konstitusi UUD 1945. Terakhir, serbuan Rusia terhadap Ukraina juga dijadikan alasan, walau susah mencari kaitannya secara langsung dengan alasan penundaan pemilu," ujarnya.

Usulan penundaan pemilu berkaitan langsung dengan norma konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Pertama, pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diatur dalam konstitusi tepatnya Pasal 1 ayat 2, pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun.

Pemilu itu untuk memilih anggota DPR dan DPD untuk membentuk MPR. Secara spesifik Pasal 22E UUD 1945 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

"Ketentuan-ketentuan di atas berkaitan erat dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, presiden dan wakil presiden. Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya," jelasnya.

"Jadi, jika Pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali," papar Yusril.

Kalau tidak ada dasar hukum, katanya maka semua penyelenggara negara mulai dari berstatus ilegal alias tidak sah atau tidak legitimate. Dampaknya tidak ada kewajiban apapun bagi rakyat untuk mematuhi mereka.

"Rakyat akan jalan sendiri-sendiri menurut maunya sendiri. Rakyat berhak untuk membangkang kepada presiden, wakil presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR. Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal," ujarnya.

Hanya panglima TNI dan Kapolri yang sah karena hanya dapat diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan DPR. TNI dan polri pun tidak satu komando.

"Presidennya sendiri sudah ilegal dan tidak sah, panglima TNI dan Kapolri bisa pula membangkang kepada perintah presiden yang ilegal itu. Kalau tidak kompak, bagaimana dan apa yang akan terjadi? Bisa saja terjadi dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara, TNI mengambil alih kekuasaan walau untuk sementara," tuturnya.

Masalah lain juga terjadi di daerah, kata dia, DPRD berstatus tidak sah sehingga tidak berhak mengontrol pemerintah daerah. Dalam suasana carut marut, timbullah anarki. Dalam anarki setiap orang, setiap kelompok merasa merdeka berbuat apa saja," tegasnya.

Yusril pun berpendapat, penundaan pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara.

Pertama melakukan amandemen UUD 1945, kedua presiden mengeluarkan dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner dan terakhir meenciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.

"Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku," jelasnya.

Dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan presiden, wakil presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 1945.

"Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45, Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR yang detilnya tidak perlu saya uraikan di sini," pungkasnya. (Cah/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya